Saturday, December 8, 2012

Saya bukan Orang Lain


Sepertinya terlalu mudah bagi setiap orang untuk melakukan ini. Dan mengapa bagi saya seakan terlalu sulit hingga saya tak pernah bisa?

Oh, tidak adil. Yang lain bisa, mengapa saya tidak?

Melupakan.

Apa saya sudah melupakannya? Oke tentu saja belum. Bagaimana mungkin saya bisa lupa dengannya? Mustahil sekali. Sementara saya berusaha melupakannya, ia tak pernah absen untuk menampakkan dirinya di hadapan saya. Oh lucu sekali. Seperti mengisi bak yang bocor. Seberapa keras dan seberapa lama kau mengisinya, bak itu tak akan pernah penuh kembali bukan?

Kamu dan Bayangan

Malam ini malam minggu.
Malam ini kelabu.
Malam ini angin bertiup malu.

Ketika hujan mulai menitik, bayangan yang telah lama lenyap kembali mengintip. Hanya mengintip, seakan takut menampakkan dirinya.

Semakin penasaran, ku tepis tabir yang masih menutup setengah bayangan itu. Namun ia lari. Semakin bersembunyi. Seakan takut ku hampiri.

Monday, November 12, 2012

Virgo; Mati


“Aku ingin mati saja Key,”
Virgo. 17 tahun.

Akeyla mendengar kalimat itu terurai begitu saja dari bibirnya. Ia tertawa, sambil menutup halaman novel yang sedang asik mencuri perhatiannya.

“Ya udah mati aja sana,”

Dahi Virgo berkerut. Ia meletakkan polaroidnya kemudian beralih menatap Akeyla, “Kok kamu setuju aku mati?”

“Kalaupun aku nggak setuju, kamu bakal tetep teguh ingin mati kan?”

Wednesday, October 31, 2012

Deretan Bualan


Cinta itu hanya omong kosong.
Cinta itu cuma bualan orang iseng.

Saya pernah berfikir jatuh cinta. Indah. Duduk berdua bersama kamu sudah memberi kebahagiaan tersendiri untuk saya. Namun, saya rasa bukan itu jatuh cinta. Bukan tentang kebahagiaan. Tapi tentang lara yang berujung bahagia.

Ya, lara yang berujung bahagia.

Sudah berapa lama saya berjuang dari sepanjang lara hanya demi merasakan setitik bahagia? Sudah sangat lama. Tapi bahagia itu tak kunjung hadir. Cinta itu tak datang.

Saya pernah berfikir mungkin saya belum cukup umur untuk merasakan cinta. Belum cukup siap untuk merasakan pahitnya. Dan belum cukup setia untuk merasakan indahnya. Tapi bukankah cinta tak mengenal itu semua?

Saturday, October 27, 2012

Psycho


2011.

Hujan pertama di bulan Desember. Aku menepi ke sisi lapangan, menyadari semakin derasnya guyuran hujan. Rok seragamku sudah basah, namun biarlah.

Sret.

Aku terpeleset, mungkin karena ubin koridor sekolahku yang sengaja di desain licin sekali. Ah ini memalukan, terpeleset di..

“Jangan hujan-hujanan disitu,”

Tunggu!

Satu Tahun yang Lalu


Gefinraldy Aryasa Samudero.

Hai, apa kabar?
Baik.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Yang itu, saat aku pertama kali mengenalmu, oh ralat, bukan mengenalmu, hanya mengenal namamu. Nama yang aneh. Ya, dan aku berani menjamin hanya ada satu nama seperti itu di dunia.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?

Thursday, October 25, 2012

Anak SMA

Tau apa tentang cinta?
Tau apa tentang sayang?
Tau apa arti rasa yang mendalam?

Omong kosong.

Siswa SMA itu masih anak-anak. Labil. Penuh emosi. Tau apa soal perasaan?

Perasaan yang satu menit menyala, satu menit kemudian sirna. Perasaan yang sebentar bahagia, sebentar lagi luka. Perasaan yang penuh euforia, namun juga penuh dengan lara. Perasaan yang saling berbagi, kemudian saling alergi. Perasaan yang amat dalam, tapi ternyata kelam.

Itu yang disebut cinta?

Berharap akan sesuatu yang indah, namun ternyata tak berbuah. Berharap akan kesempurnaan, namun yang hadir kemurkaan. Berharap kepastian yang tak kunjung menuai hasil. Berharap kerinduan yang tumbuh, namun ternyata rapuh.

Segala pengharapan butuh kesabaran.
Tapi tahukah, bahwa terlalu lama bersabar nantinya juga akan pudar?

Keadaan


Bukan aku atau kamu yang berubah, tetapi keadaan yang telah berbeda.

Dulu kita sama. Sekarang tidak.
Dulu kita sejalan. Sekarang tak lagi.
Dulu kita bertatap. Sekarang kita bertolak.
Dulu kita berbagi. Sekarang kita alergi.
Dulu bahagia. Sekarang lara.

Seharusnya aku tak hanya bungkam. Seharusnya aku tak berteman dengan diam. Seharusnya keadaan ini tak mencekam. Seharusnya kau tak perlu memandang sosokku dengan tajam. Dan seharusnya kau tidak menikam.

Bukankah kau sendiri yang berkoar? Tapi kau juga yang ingkar.
Bukankah kau sendiri yang memulai? Tapi kau juga yang mengakhiri.

Kalau kau memiliki sejuta hal yang tidak bisa kau bagi kepadaku, tidakkah aku juga melakukan hal yang sama?

Sunday, October 7, 2012

Mereka

“Kemana mereka semua yang lo sebut teman?”

Di sudut bibirnya terdapat bekas darah yang masih cukup segar. Aku belum benar-benar bisa merasa puas meski telah meluncurkan beberapa bogem mentah ke arah wajahnya. Ia hanya mengelap kecil bekas darah yang masih menempel di sudut bibirnya itu. Namun ia masih tetap bisa berdiri. Jauh lebih tegap dari posisiku yang sedang terkapar.

“Kemana mereka semua yang lo anggep saudara itu?”

Nafasku tak terkontrol. Sepatu kets hitamnya yang besar menyapu kasar punggungku. Aliran darahku bertransportasi menjadi 3 kali lebih cepat dari biasanya. Pipiku menempel pada ubin yang berdebu. Sementara aku sudah tak mampu lagi mengangkat kepala. Ia dengan seenaknya semakin mengeraskan injakannya dan semakin membuatku tertekan. Aku mengerang kecil, menahan sakit akibat jahitan di perutku yang terluka bekas tertusuk belati kemarin sore.

“Kenapa diem? Gak bisa jawab?”

Monday, October 1, 2012

Aris-Arin-Aren (end)


want to know the previous story?

Pendingin ruangan ini semakin membuat kulitku terasa dingin. Potongan-potongan kejadian demi kejadian yang baru saja terputar jelas dalam file otakku dapat dengan mudah menghancurkan pertahananku. Awalnya hanya sebutir yang mengalir dari sudut mataku. Semakin lama merenung, menyesali perbuatan keadaan, mencoba menerima fakta yang ada, mencoba menjalani hidup yang baru, tanpa sosok Arin..

Andai aku tak pernah melihat Aren menggenggam manis telapak tangan Arin. Andai aku tak pernah menyayangi Arin lebih dari sahabat terbaikku. Andai Arin maupun Aren tak pernah saling mencinta. Andai tak pernah ada persaingan. Andai aku tak pernah dikhianati. Andai sabtu sore itu aku lebih baik berada di rumah saja. Andai malapetaka itu tak pernah terjadi..

Kini otakku kembali memutar video-video semasa kami kelas satu. Kejamnya masa orientasi yang berlanjut pada perkenalan. Saling mengenal kemudian menciptakan hubungan pertemanan. Semakin dekat hingga melekat menjadi sahabat.

Bayangan Aren yang tengah frustasi berulang kali gagal menshoot bola ke arah ring di tengah guyuran hujan yang lebat. Saat kemudian aku datang merebut bola dan dengan telaten mempraktikkan tehnik demi tehnik, menciptakan senyuman di wajah Aren. Lalu Arin datang sambil melompat-lompat dalam genangan air hujan, jail menciprati seragamku dan Aren yang sudah berubah warna.

Aris-Arin-Aren (2)


want to know the previous story?

Arin mencoba menghentikan langkahku. Mendorong bahuku untuk mundur. Aku hampir saja meluncurkan tamparanku kalau saja aku tidak bisa mengontrol tindakan ku yang sudah kesetanan. Aku melepaskan cengkramannya kemudian melanjutkan langkahku tanpa sedetik pun menolehkan kepalaku ke arah Arin yang telah jatuh tersungkur.

“Kalian bisa bicarain ini baik-baik, tanpa balapan! Ris stop Ris!”

Telingaku semakin memanas. Bahkan kalimat Arin yang semakin lama semakin tak terdengar olehku sama sekali tak membuatku mengurungkan niatku. Aku meneruskan langkahku menuju parkiran belakang sekolah. Menstarter motor dan melaju dengan kecepatan jauh diatas normal. Berbagai macam kejadian belakangan ini tak henti-hentinya berputar dalam otakku seiring dengan kepalan tanganku yang semakin memacu gas lebih kencang lagi.
*

“Aren! Aris! Stop! Plis gue mohon jangan lakuin ini! Kita bisa bicarain ini baik-baik,”

Aris-Arin-Aren (1)


Dia hanya menunduk saja, memejamkan kedua matanya, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bungkam. Mungkin menangis dalam diam, tanpa suara. Aku masih menatapnya dengan sekujur tubuhku yang bermandikan peluh. Aku hanya bisa memandangnya, melihatnya dari jauh, menerawang hati dan pikirannya. Tanpa suatu hal lain yang bisa aku lakukan.

Ia tak kunjung buka suara. Sudah sejak satu jam yang lalu ia tetap berdiri dalam posisi seperti itu. Tanpa sedetik pun menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya terdengar detakan demi detakan jantung yang terus memacu. Hanya samar-samar bunyi nafas tak teratur yang membuat dada bidangnya kembang kempis. Dan aku masih menatapnya. Hanya tatapan tanpa reaksi.

Dua jam berlalu. Keheningan masih menyelimuti. Dinding dengan cat hijau muda di ruangan ini menjadi saksi kebisuan. Tak ada yang berani memulai untuk mengakhiri semua ini. Kaki ku mati rasa, sekujur tubuhku seperti beku, kaku, bahkan mungkin sudah sedingin es. Aku tak ingin bergerak, membuka suara saja enggan, apalagi untuk beranjak dari tempat laknat ini. Sementara suara isakan mulai samar-samar terdengar seakan terbisik tepat di telingaku. Aku masih memandangnya.

“Sudah 2 jam kalian berdua hanya diam tanpa reaksi. Mau menunggu berapa jam lagi?”

Tuesday, September 25, 2012

Mimpi Buruk

Kamu tak akan pernah bisa ku gapai, ku raih, lalu ku miliki seutuhnya. Rasanya mencemaskan dirimu itu bukanlah sesuatu hal yang asing bagiku. Merindukanmu itu bagaikan udara yang setiap saat berhembus. Terkadang udara memang tak pernah bisa kita rasakan. Namun tak jarang juga udara menjelma menjadi angin. Awalnya lembut, menggelikan, namun angin bisa menjadi ganas dan berbahaya yang sanggup menghancurkan serta merusak sekitarnya. Ya, menggambarkan dan mengimajinasikan sesuatu yang berhubungan tentangmu itu memang serumit itu.

Perkenalan sederhana, hanya ada tatapan bola mata kita yang saling bertemu, kemudian seakan-akan menyatu dan saling terjadi gaya tarik menarik. Aku merasa waktu sejenak berhenti dan dunia menjadi hitam putih. Hanya siluetmu yang nampak berseri, berwarna indah yang menyolok penglihatanku. Kamu, mengagumkan sekali.

Aku dan kamu lagi-lagi berada di tempat yang sama dan lagi-lagi karena faktor keberuntungan. Aku pernah dengar suatu ungkapan, bukankah kalau kita sering berada pada keadaan dimana keberuntungan itu mempertemukan dua sisi yang berbeda, maka keberuntungan lah yang bertugas untuk menyatukan mereka? Kalau aku dan kamu adalah tokohnya, bukankah saat ini kita sedang dalam proses dipersatukan? Bukankah begitu?

Antara Lo dan Dia


Gue belum bisa paham teori apa yang mereka terapkan agar bisa dengan mudah mencintai gue dan butuh waktu bertahun-tahun untuk ngelupain gue. Meski pada akhirnya sampai sekarang pun 80 % diantara mereka belum juga bisa berpaling dari gue. Apa gue terlalu indah di mata mereka? Apa gue terlalu berharga dalam hidup mereka? Apa gue yang terlihat paling berwarna dintara semua cowok sekolah ini? Apakah dalam pandangan mereka semua cowok itu cuma hitam putih, abu-abu, sedangkan gue seorang yang paling bisa bercahaya dan memantulkan sinar gue ke seantero sudut sekolah? Apa begitu? Apa tidak terkesan ‘berlebihan’?

Terlalu banyak pertanyaaan-pertanyaan konyol dari gue yang mungkin tak akan pernah bisa mereka utarakan dengan jawaban yang paling tepat. Seharusnya pertanyaan itu tak akan pernah berlalu-lalang dalam pikiran gue kalau saja lo tidak berbuat senekat dan segila itu. Lo, salah satu diantara para ladies di luar sana yang benar-benar tak punya malu. Waktu lo nembak gue di tengah lapangan dengan speaker sekolahan yang suaranya aduhai menggelegar, tau apa yang gue pikirin saat itu? Dia. Ya, gue mikirin dia. Gue sama sekali bukan mikirin perasaan lo, tapi dia. Satu-satunya sosok yang paling indah di mata gue. Gue sangat-sangat menjaga perasaan dia, gue masa bodoh dengan cewek-cewek semacam lo yang ngarep banget bisa gue perlakuin seperti halnya gue merlakuin dia. No!

Saturday, September 22, 2012

Sebuah Cerita Lama


Tentang kami. Yang selalu bermandikan tawa dan berselimut canda setiap hari. Yang selalu mencomot makanan satu sama lain dengan gurau yang tak lagi terhindarkan. Yang selalu menatap langit yang sama di setiap senja. Yang selalu bangga dengan guyonan-guyonan gila serta topik obrolan ringan dan tak berbobot. Yang selalu menyamakan langkah kaki dan berhenti sejenak ketika salah satu dari kaki kami tertinggal di belakang; saling menunggu.

Tentang kami. Sekelompok pelajar yang setiap pagi tak pernah absen hadir ke sekolah. Sekumpulan kawan dekat yang bertekat tak akan pernah menjadi lawan. Sekawanan murid berseragam putih abu-abu dengan tas ransel di pundak masing-masing.

Tentang kami. Aku, kamu, dia, dan dia.

Aku masih mengingatnya dengan betul ketika kau melajukan motormu dengan kecepatan diatas 80 km/jam dan memaksaku menikmati hembusan angin yang begitu kencang. Ketika ku mulai terjebak dengan ketakutan diri sendiri dan kamu meraih telapak tanganku, menggenggamnya dan meletakkan melingkari perutmu. Kemudian saat ku lirik dari spion motormu, sesungging senyuman terlintas di wajahmu. Entahlah.

Tuesday, September 11, 2012

Bella


Resto Holy, 11 Oktober 2009.

Diantara kami bertiga, hanya Anna yang mampu mencairkan suasana kembali. Aku masih menatap Bella dengan pandangan kabur, buram. Mataku memanas, tidak sepantasnya aku masih berada disini bersama mereka. Tidak sepantasnya aku masih bisa menyantap kentang favoritku dengan lahap sementara aku yakin betul jauh di balik mata Bella yang selalu berbinar ternyata menyimpan luka. Satu jam yang lalu, resto ini padat pengunjung, kami masih tertawa, kami masih bersenda gurau dan berbagi candaan satu sama lain. Tertawa bersama, melahap sajian bersama, mengacau bersama. Hingga pada akhirnya perasaan yang selama ini terus mengusikku dan datang di setiap tidurku, mimpi buruk itu memaksa otakku untuk berkerja lebih ekstra.

Hanya tersisa kami bertiga di resto ini. Sementara mbak-mbak dan mas-mas yang ada di ujung kasir terus menengok ke arah kami karena keheningan itu. Semuanya nampak berbalik 180 derajat setelah aku mengatakan hal itu. Anna dan Bella masih tertawa, namun aku telah melakukan suatu kesalahan besar yang membuat Bella harus tersenyum palsu dibalik tawanya. Kini, hanya ada gurauan Anna yang mencoba mengembalikan suasana. Aku tau benar Bella menahan air matanya. Sementara aku, sudah kubiarkan air mataku jatuh.

Aku sadar sepenuhnya bahwa perasaan Bella dari dulu tak pernah berganti. Meski ia telah mengatakan seribu kali kalau hatinya telah move on, matanya tak pernah mampu membohongiku. Bella masih menyayangi dia. Apapun yang menyangkut tentang dia, raut muka Bella selalu berubah. Ada tangis yang tertahan disana. Aku tau betul.

Dia naksir kamu ya? Atau kamu yang naksir dia? Atau dua-duanya?”

Sunday, September 9, 2012

Arestya (end)

want to know the previous story?

“Res, jadi ini ayah bundamu? Syukurlah mereka selamat Res,”

Aku mengemban senyum kebahagiaan yang benar-benar tidak bisa ku tahan lagi. Aku sesegera menjabat telapak tangan kedua orang di hadapanku ini, lalu beralih menatap Ares, masih juga dengan senyumnya yang sulit dijelaskan.
*

“Din, jangan pernah sia-siakan kedua orang tuamu ya,”

Kata-kata itu seakan bagai belati tajam yang langsung merobek dada kiriku dan menusuk tepat di jantung. Menyia-nyiakan orang tuaku? Bukankah aku telah melakukan hal itu?

Aku tersenyum kecut menanggapi. Sementara mata Ares menerawang jauh tepat ke seberang lautan sana, aku mengikuti arah pandangannya. Air biru itu sepertinya dingin sekali, atau bahkan sedingin es. Pantulan sinar mentari membuat air biru itu nampak berkilauan, seperti mata Ares. Dua orang paruh baya yang sedari tadi hanya diam saja kini mulai buka suara.

“Ceritakan semuanya nak,” terang ayah Ares sambil menepuk pundak anaknya itu.

Ares beranjak dari tempatnya, berjalan dengan sedikit gontai menuju bangku panjang di ujung sana. Ares mempersilahkanku untuk duduk, aku hanya menurutinya saja. Sedangkan ia tetap dalam posisi berdiri sambil kembali memandang lautan.

“Orang tuaku telah meninggal Din,”

Tentang Kamu dan Mereka


Mataku terarah tepat padamu. Suara maskulinmu yang lantang dan tegas mampu menggetarkan syaraf-syaraf otakku yang sedang layu. Telapak tangan kita mungkin sama-sama dingin. Aku mengerti betul saat pertama kali kedua permukaan kulit tangan kita saling bersentuhan, saling menjabat. Saat itu yang ku rasakan panas, dingin, basah, lembab, bercampur menjadi satu. Rasa yang sempat menyelimutiku saat itu kini ia datang kembali. Kau duduk disana, matamu sudah memerah, suaramu hampir tak bisa ku dengar lagi, tubuhmu gemetaran hebat. Saat-saat seperti itu juga pernah kulihat, kurasakan, bersamamu. Saat itu, pertama kali ku melihatmu meneteskan mutiara bening dimata indahmu. Saat itu, pertama kali kulihat kamu hancur. Saat itu, dimana kamu pun tak peduli lagi figur seorang gentleman sejati seperti apa. Kamu benar-benar menangis saat itu.

You did it again! Kamu melakukannya lagi. Dihadapanku, dihadapan mereka, dihadapan semua orang. Tau tidak? Kalau aku tidak bisa mengontrol diriku, maka aku sudah menjadi orang pertama yang akan menghampirimu dan memelukmu dengan lenganku sendiri. Namun aku masih waras. Hal segila, nekat, dan sebodoh itu tak sampai kulakukan. Lagi pula, kau menangisi siapa lagi sih? Dia? Mantanmu itu? Bukankah kalian sudah lama sekali tidak saling sapa dan tidak ada kabar baik?

“Mereka segalanya buat saya,”

Aku tercekam. Setelah akhirnya kamu mengeluarkan suaramu kembali. Mereka? Siapa? Gengmu itu?

“Sampai kapan pun saya tidak akan pernah membubarkan mereka. Saya bisa seperti ini karena mereka,”

Tiba-tiba seperti ada bongkahan batu besar yang langsung menghantam dadaku.

Tuesday, September 4, 2012

Arestya (2)

want to know the previous story?

12 Desember 2009, Kapal Layar "El Vadeo" tenggelam di Perairan Selat Sunda, pukul 04.00 dini hari. Belum ada informasi lebih lanjut mengenai korban selamat.
*

“Ayah bundaku pasti selamat Din,”

Kata-kata itu bagaikan bunyi meriam perang yang terus saja mengguncang pikiranku. Sudah empat hari ini aku tidak melihat batang hidung Ares muncul di hadapanku. Setelah mengucapkan kata-kata itu beberapa hari yang lalu, ponselnya seperti tewas. Nomornya seperti lenyap dan sama sekali tak bisa dihubungi. Rumahnya yang megah seperti istana itu sepi sunyi. Sama sekali tak ada tanda-tanda Ares sedang melakukan aktifitas hidup disana.

Beberapa jam yang lalu, aku mendengar kembali suara Ares. Masih dengan mengucapkan kata-kata yang sama, kemudian terdengar bunyi “klik” dan akhirnya telepon itu terputus. Aku kembali kehilangan jejaknya.

Kabar mengenai korban selamat dari tragedi naas itu sendiri masih simpang siur. Aku turut prihatin, nelangsa sekali. Hingga akhirnya, satu pesan singkat masuk ke ponselku dengan nomor yang tidak dikenal.

Besok mau temani aku menjemput ayah bundaku? Aku yakin mereka pasti selamat Din, kutunggu jam 10 pagi di pelabuhan –Ares

Untuk Kamu


Full of mystery boxes that I’ve never opened before.

Penuh kejutan.

Hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak tertebak di otakku, tiba-tiba mereka menyerangku dengan sendirinya dan memaksakan diri untuk memenuhi space-space yang masih kosong di otakku.

Absurd.

Semuanya nampak jadi jauh lebih jelas dan lebih clear, karena aku sudah tau bagian-bagian dari puzzle yang sedang ku gabungkan satu persatu itu. Hingga akhirnya puzzle itu sudah tersusun, sudah lengkap, semua bagian sudah saling terpaut rapi dan pas pada tempatnya masing-masing. Hingga aku sendiri tau apa yang sebenarnya sudah benar-benar terjadi. Aku tau cerita sebenarnya.

Waktu pertama, saat kamu dan dia. Ya, dia yang pertama. Dia yang telah berhasil membuatmu menjatuhkan mutiara bening di mata indahmu. Dia yang pertama merebut hatimu. Bukan aku, tapi dia. Ya, hanya dia yang membuat tubuhmu gemetaran hebat saat dia memutuskan hubungannya denganmu. Tau tidak? Aku selalu membuntutimu. Membuntuti kisahmu dengannya. Bersiap-siap saat mungkin saja kamu akan lari memelukku setelah dia telah pergi dari hidupmu.

Namun, kamu bukan lari ke pelukanku.

Sunday, August 26, 2012

Menyandarkan Harapan (end)

want to know the previous story?


"Maafkan aku Liv,"

Lagi! Ia meminta maaf lagi? Oh ayolah Fan, aku bahkan tidak pernah tidak memaafkanmu. Dan aku bahkan selalu memaafkanmu sebelum kau meminta maaf duluan. Dan satu lagi, aku bahkan tidak pernah menganggapmu salah sehingga harus meminta maaf kepadaku. Bodoh ya aku?

Ucapan maaf Alfan malah membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Sudah lah, cukup, sudah jelas Alfan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia menginginkanku. Tak ada kode atau semacam isyarat lainnya kalu dia masih menyayangiku. Tak ada ucapannya yang mengarah bahwa ia memilihku. Sama sekali tidak.

So, buat apa aku masih berharap padanya? Buat apa aku masih menunggu kalimatnya keluar? Padahal sudah jelas-jelas ia tidak akan berkata-kata lagi setelah ini. Karena aku rasa juga memang seharusnya tidak ada yang perlu dikatakan lagi. Aku sudah mengatakannya, dan Alfan sudah mengetahui semuanya. Sudah selesai kan?

Mengapa Alfan tidak pergi dari sini saja sih?

"Liv,"

Arestya (1)

“Jadi ini rumahmu?”
“Bukan. Rumah ayahku.”

Aku menatap ke sekelilingku. Pilar-pilar besar yang berdiameter kurang lebih 60 sentimeter menjulang tinggi dan berfungsi menyanggah bangunan-bangunan diatasnya. Dinding dengan cat tembok berwarna abu-abu terang dan beberapa garis berwarna hitam. Lalu dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu berbagai macam bentuk. Lantai marmer yang putih mengkilap dan terasa sangat dingin ketika bersentuhan dengan permukaan telapak kaki ku. Jadi benar disini tempat tinggalnya?
*

Kamarku adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa merasa benar-benar bebas. Tanpa aturan. Rasanya seperti nggak perlu keluar kamar saja. Risih pagi-pagi sarapan omelan dari papa. Pulang sekolah nyampe rumah telat, dapet ceramah dari mama. Bolos les baru sekali juga langsung kena seret sama abang. Semua orang rumah itu tidak ada satu pun yang berpihak kepadaku. Semuanya, bikin jenuh.

Arestya, teman sekelasku.

Saturday, August 25, 2012

Menyandarkan Harapan (2)

want to know the previous story?


"Liv, kamu kenapa nangis sih?"

Bodoh! Alfan benar-benar bodoh! Dan itu pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar! Oh haruskah aku menjawabnya?

"Perlu ku jawab?"
"OLiv, jadi karena aku? Kamu marah sama aku? Kamu cemburu sama aku? Kamu sakit hati karena aku?"

Aku membeku. Seluruh rasa yang tertahan dari tadi keluar begitu saja dalam sederet pertanyaan Alfan barusan. Sakit sekali. Rasanya, ingin mati saja.

"Kamu sudah tau hal itu Fan," jawabku lemah dan menyerah.
"Liv! Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sudah bisa melupakanku. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sudah menemukan penggantiku. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sudah punya cowok. Iya kan Liv? Liv? Jawab aku!"

Alfan menggoncang-goncangkan bahuku. Sementara aku? Hanya memejamkan mataku sambil menahan rasa yang luar biasa sakitnya disini, di dadaku.

Menyandarkan Harapan (1)


Kami berdua berada di jalanan yang ramai. Aku meminggirkan mobilku, mencoba menghindar dari padatnya lalu lintas. Sementara mobilnya, entah ada dimana. Yang aku tahu sekarang adalah, dia sedang berusaha berbicara padaku, mengetuk-ngetuk kaca mobilku, mengucapkan sederet kalimat yang bisa kudengar dengan jelas.

Namun mataku sudah terlanjur basah. Hati juga rasanya sudah terlanjur hancur lebur. Aku menatap lurus ke depan, ke arah jalanan. Tak ada niatan sedikit pun untuk menoleh ke kanan, dan melihat matanya. Karena jujur saja, aku tak bisa melihat mata hitamnya. Tajam sekali seperti hendak menusukku. Ya, benar saja. Ia memang telah menusukku, menusuk hatiku.

Entah sudah berapa lama aku menangis. Dan entah sudah berapa lama ia masih berdiri disitu, masih ditempat yang sama. Dan yang ia lakukan pun masih sama. Air mataku semakin tak terkendali. Bahkan kerudungku pun telah basah. Mataku sudah benar-benar panas. Kepalaku pening tak karuan.

Aku tak bisa membiarkannya terus berdiri disitu.
Aku tidak bisa.
Tidak akan pernah bisa untuk tidak meresponnya.

"Kamu mau apa lagi?"

Thursday, August 16, 2012

want to know?

about me?
maharani putri ayuningtyas. indonesian. 15+
masih pelajar kelas 2 SMA. masih muda. masih suka makan. masih apalagi ya? masih sehat =))

that's all.
lagi pula, menulis segala hal tentang diri sendiri tidak bisa ditulis dalam kata-kata, apalagi di blog, apalagi karakternya terbatas, apalagi untuk di share. nggak penting.

untuk selebihnya mengenai saya, it's not your bussiness.