Kami berdua berada di jalanan yang ramai. Aku meminggirkan mobilku, mencoba menghindar dari padatnya lalu lintas. Sementara mobilnya, entah ada dimana. Yang aku tahu sekarang adalah, dia sedang berusaha berbicara padaku, mengetuk-ngetuk kaca mobilku, mengucapkan sederet kalimat yang bisa kudengar dengan jelas.
Namun mataku sudah terlanjur basah. Hati juga rasanya sudah terlanjur hancur lebur. Aku menatap lurus ke depan, ke arah jalanan. Tak ada niatan sedikit pun untuk menoleh ke kanan, dan melihat matanya. Karena jujur saja, aku tak bisa melihat mata hitamnya. Tajam sekali seperti hendak menusukku. Ya, benar saja. Ia memang telah menusukku, menusuk hatiku.
Entah sudah berapa lama aku menangis. Dan entah sudah berapa lama ia masih berdiri disitu, masih ditempat yang sama. Dan yang ia lakukan pun masih sama. Air mataku semakin tak terkendali. Bahkan kerudungku pun telah basah. Mataku sudah benar-benar panas. Kepalaku pening tak karuan.
Aku tak bisa membiarkannya terus berdiri disitu.
Aku tidak bisa.
Tidak akan pernah bisa untuk tidak meresponnya.
Aku menyerah. Kaca mobilku sudah kubiarkan terbuka, namun mataku belum teralih dari jalanan. Jujur saja, aku masih takut mengalihkan pandanganku dan tiba-tiba menatap matanya. Aku takut menatap bola mata hitam pekat itu.
"Maafkan aku Liv," ia menatapku lurus-lurus.
"Sudah ku maafkan. Cuma itu kan? Tolong minggir, aku mau pulang,"
"Kamu pikir aku akan membiarkanmu menyetir mobil sendirian dalam keadaan seperti ini?" Alfan mencegahku.
Aku menghela nafas.
Aku menghela nafas.
"Lalu maumu apa?"
"Harusnya aku yang bertanya Liv, maumu apa?"
Untuk yang kedua kalinya aku tidak bisa mempertahankan posisiku. Aku telah berhadap-hadapan dengannya. Ku beranikan diri menatap manik hitam di matanya. Dengan kekuatan yang tersisa, aku menahan air mataku agar tidak tumpah.
"Mauku? Aku mau pulang. Tolong minggir dari mobilku dan dari hidupku," jawabku dengan tegas. Ralat, sok tegas maksudku.
"Liv, sudah dong, kalau kamu memang sudah memaafkanku, tolong jangan nangis lagi. Kamu tau aku paling nggak bisa lihat kamu nangis,"
"Nggak usah sok peduli. Nggak usah sok manis. Dan nggak usah sok tau tentang aku. Kamu tau apa tentang aku? Hah? Tau apa kamu Fan?"
"Segalanya. Pecinta hujan, maniak bulan Desember, penggalau malam, benci pelangi, penikmat musik..."
"Stop! Cukup Fan cukup!"
Aku menangis sejadi-jadinya. Hancur sudah pertahananku. Runtuh sudah karena dia. Ya, hanya dia dan benar-benar cuma dia yang bisa menciptakan tawa di wajahku. Menciptakan semburat merah muda di pipiku. Tapi dia juga satu-satunya yang bisa menghancurkan benteng pertahananku. Benteng yang sudah kubuat sekuat dan sekeras mungkin. Ternyata dengan semudah itu hancur ditelan kalimat Alfan.
"Liv, kamu kenapa nangis sih?"
Bodoh! Alfan benar-benar bodoh!
*
to be continued Menyandarkan Harapan (2)
No comments:
Post a Comment