Mataku terarah tepat padamu. Suara maskulinmu yang lantang
dan tegas mampu menggetarkan syaraf-syaraf otakku yang sedang layu. Telapak
tangan kita mungkin sama-sama dingin. Aku mengerti betul saat pertama kali
kedua permukaan kulit tangan kita saling bersentuhan, saling menjabat. Saat itu
yang ku rasakan panas, dingin, basah, lembab, bercampur menjadi satu. Rasa yang
sempat menyelimutiku saat itu kini ia datang kembali. Kau duduk disana, matamu
sudah memerah, suaramu hampir tak bisa ku dengar lagi, tubuhmu gemetaran hebat.
Saat-saat seperti itu juga pernah kulihat, kurasakan, bersamamu. Saat itu,
pertama kali ku melihatmu meneteskan mutiara bening dimata indahmu. Saat itu,
pertama kali kulihat kamu hancur. Saat itu, dimana kamu pun tak peduli lagi figur
seorang gentleman sejati seperti apa. Kamu benar-benar menangis saat itu.
You did it again! Kamu
melakukannya lagi. Dihadapanku, dihadapan mereka, dihadapan semua orang. Tau tidak?
Kalau aku tidak bisa mengontrol diriku, maka aku sudah menjadi orang pertama
yang akan menghampirimu dan memelukmu dengan lenganku sendiri. Namun aku masih
waras. Hal segila, nekat, dan sebodoh itu tak sampai kulakukan. Lagi pula, kau
menangisi siapa lagi sih? Dia? Mantanmu itu? Bukankah kalian sudah lama sekali
tidak saling sapa dan tidak ada kabar baik?
“Mereka segalanya buat saya,”
Aku tercekam. Setelah akhirnya kamu mengeluarkan suaramu
kembali. Mereka? Siapa? Gengmu itu?
“Sampai kapan pun saya tidak akan pernah membubarkan mereka.
Saya bisa seperti ini karena mereka,”
Tiba-tiba seperti ada bongkahan batu besar yang langsung
menghantam dadaku.
Kata-kata itu, kalimat barusan itu, keluar dari mulut seorang sepertimu. Entah mengapa pertahananku bisa ikut runtuh seketika. Kamu meneteskan air matamu, aku pun begitu. Kulihat sekeliling, banyak kepala tertunduk. Mungkin mereka sama denganku, sama denganmu juga.
Kata-kata itu, kalimat barusan itu, keluar dari mulut seorang sepertimu. Entah mengapa pertahananku bisa ikut runtuh seketika. Kamu meneteskan air matamu, aku pun begitu. Kulihat sekeliling, banyak kepala tertunduk. Mungkin mereka sama denganku, sama denganmu juga.
Seperti dalam sebuah drama haru, seluruh penghuni auditorium
pun ikut terbawa suasana. Aku menolehkan kepalaku ke arah lima orang yang duduk
di deretan paling belakang. Mereka itu kah yang kamu maksud? Mereka itu kah
segalanya untukmu? Apa benar-benar mereka? Seberapa pentingnya mereka? Seberapa
berharganya mereka bagimu?
“Saya bisa duduk disini karna mereka. Kalau kalian semua
merngerti bagaimana rasanya menjadi saya, kalian juga tak akan sanggup melihat
teman-teman kalian sendiri menangis, kalian tak akan sanggup bertahan tanpa
mereka. Mereka sangat berharga buat saya sampai tidak dapat ternilai harganya,”
Air mataku ikut meledak. Sebegitu hebatnya kalian mempertahankan
solidaritas? Sebegitu tingginya kalian menjunjung tinggi nama persahabatan? Sebegitu
tragisnya pengakuanmu atas nama sahabat-sahabatmu? Sebegitu berartinya
pembelaanmu untuk mereka? Di hadapan ratusan pasang mata, kamu menumpahkan
semuanya. Kamu rela menjatuhkan sedikit harga dirimu hanya demi mengeluarkan
air matamu itu untuk sahabat-sahabatmu?
Solid.
Kelima orang dibelakang sana, aku pun juga mengenal mereka
dengan baik. Mereka sama-sama menangis. Kami sama-sama menangis. Berpelukan sambil
menjabat tangan satu sama lain. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tanpa
segan-segan lagi, aku merangkul kedua bahu yang ada disampingku, memejamkan
kelopak mataku, mengeluarkan segala rasa haru, solidaritas, takut kehilangan,
hangatnya persahabatan, dalam bentuk air mata.
“Kalian sahabatku, jangan pernah kemana-mana ya,”
Kami tersenyum, satu masalah telah usai. Bukankah indah
melalui hari-hari akhir di sekolah ini dengan persahabatan?
Pandanganku kembali menatap kamu. Ada satu hikmah lagi di
hari ini selain aku benar-benar mengerti arti solidaritas, aku tidak bisa
mengalihkan pandanganku darimu, dan kamu sedang tersenyum manis disana. Menatapku.
Untuk kamu yang menangis akan sahabatmu
Dariku yang hanyut akan senyummu
*
No comments:
Post a Comment