Monday, October 1, 2012

Aris-Arin-Aren (1)


Dia hanya menunduk saja, memejamkan kedua matanya, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bungkam. Mungkin menangis dalam diam, tanpa suara. Aku masih menatapnya dengan sekujur tubuhku yang bermandikan peluh. Aku hanya bisa memandangnya, melihatnya dari jauh, menerawang hati dan pikirannya. Tanpa suatu hal lain yang bisa aku lakukan.

Ia tak kunjung buka suara. Sudah sejak satu jam yang lalu ia tetap berdiri dalam posisi seperti itu. Tanpa sedetik pun menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya terdengar detakan demi detakan jantung yang terus memacu. Hanya samar-samar bunyi nafas tak teratur yang membuat dada bidangnya kembang kempis. Dan aku masih menatapnya. Hanya tatapan tanpa reaksi.

Dua jam berlalu. Keheningan masih menyelimuti. Dinding dengan cat hijau muda di ruangan ini menjadi saksi kebisuan. Tak ada yang berani memulai untuk mengakhiri semua ini. Kaki ku mati rasa, sekujur tubuhku seperti beku, kaku, bahkan mungkin sudah sedingin es. Aku tak ingin bergerak, membuka suara saja enggan, apalagi untuk beranjak dari tempat laknat ini. Sementara suara isakan mulai samar-samar terdengar seakan terbisik tepat di telingaku. Aku masih memandangnya.

“Sudah 2 jam kalian berdua hanya diam tanpa reaksi. Mau menunggu berapa jam lagi?”

Polisi itu akhirnya memecah keheningan. Membuat jantungku bekerja lebih ekstra. Aku mencoba menyusun kata-kata yang paling tepat. Kata-kata jitu yang ampuh mengeluarkan ku dari tempat ini detik ini juga. Entah, mengapa di saat-saat seperti ini otakku justru semakin beku, seiring dengan sekujur tubuhku yang sudah membeku dari tadi. Rasanya, mengucapkan satu atau dua patah kata itu butuh perjuangan ekstra. Menggerakkan bibirku juga rasanya berat sekali. Aku benci keadaan ini.

“Dia pelakunya,”

Lirih, tapi jernih. Aku yakin betul polisi itu dapat menangkap dengan jelas kata-kata yang baru saja ku haturkan. Jari telunjuk ku tepat mengarah pada sosok yang sedari tadi berdiri dengan kepala tertunduk dan bibir mengatup rapat. Kalimat itu secara bersamaan meluncur dari mulutku, juga mulutnya. Dia juga melakukan hal yang sama. Mengucapkan kata-kata yang sama, dan menunjuk ke arah jari telunjuk ku. Dia, ya, kini ia tengah menatapku dengan tatapan ingin segera memangsaku hidup-hidup.

Sementara polisi itu berdiri, menunjuk ku, kemudian beralih menunjuknya. Wajahnya garang, “Jangan coba main-main dengan saya. Dia siapa? Kau? Atau kau? Atau kalian berdua?”

Polisi itu secara bergantian menatapku kemudian menatapnya. Ketika pandanganku tepat menyatu dengan bola mata hitamnya, seakan terjadi gaya tarik menarik. Seperti ilmu fisika, kutub positif dan kutub negatif yang saling bertolak belakang, justru mampu menciptakan ikatan yang sangat kuat. Yes, gravity.

Memoriku kembali berputar. Ingatanku kembali menerawang. Otakku kembali bekerja. Dan akhirnya pikiranku pun memasuki masa-masa itu kembali. Masa kejayaan kami. Masa dimana hanya ada tawa dan canda yang selalu mengisi hari-hari kami. Masa dimana deru mesin motor kami saling berpacu, kencang sekali, namun tetap berjalan beriringan. Masa dimana tak ada lara, tiada duka, dan hanya ada suka yang mengiringi setiap langkah kami. Masa dimana tak pernah terduga malapetaka itu akan datang menghampiri.
*
to be continued Aris-Arin-Aren (2)

No comments:

Post a Comment