Dia hanya menunduk saja, memejamkan kedua matanya,
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bungkam. Mungkin menangis dalam diam,
tanpa suara. Aku masih menatapnya dengan sekujur tubuhku yang bermandikan
peluh. Aku hanya bisa memandangnya, melihatnya dari jauh, menerawang hati dan
pikirannya. Tanpa suatu hal lain yang bisa aku lakukan.
Ia tak kunjung buka suara. Sudah sejak satu jam yang lalu ia
tetap berdiri dalam posisi seperti itu. Tanpa sedetik pun menggerakkan anggota
tubuhnya. Hanya terdengar detakan demi detakan jantung yang terus memacu. Hanya
samar-samar bunyi nafas tak teratur yang membuat dada bidangnya kembang kempis.
Dan aku masih menatapnya. Hanya tatapan tanpa reaksi.
Dua jam berlalu. Keheningan masih menyelimuti. Dinding dengan
cat hijau muda di ruangan ini menjadi saksi kebisuan. Tak ada yang berani
memulai untuk mengakhiri semua ini. Kaki ku mati rasa, sekujur tubuhku seperti
beku, kaku, bahkan mungkin sudah sedingin es. Aku tak ingin bergerak, membuka
suara saja enggan, apalagi untuk beranjak dari tempat laknat ini. Sementara
suara isakan mulai samar-samar terdengar seakan terbisik tepat di telingaku. Aku
masih memandangnya.
Polisi itu akhirnya memecah keheningan. Membuat jantungku
bekerja lebih ekstra. Aku mencoba menyusun kata-kata yang paling tepat. Kata-kata
jitu yang ampuh mengeluarkan ku dari tempat ini detik ini juga. Entah, mengapa
di saat-saat seperti ini otakku justru semakin beku, seiring dengan sekujur
tubuhku yang sudah membeku dari tadi. Rasanya, mengucapkan satu atau dua patah
kata itu butuh perjuangan ekstra. Menggerakkan bibirku juga rasanya berat
sekali. Aku benci keadaan ini.
“Dia pelakunya,”
Lirih, tapi jernih. Aku yakin betul polisi itu dapat
menangkap dengan jelas kata-kata yang baru saja ku haturkan. Jari telunjuk ku
tepat mengarah pada sosok yang sedari tadi berdiri dengan kepala tertunduk dan
bibir mengatup rapat. Kalimat itu secara bersamaan meluncur dari mulutku, juga mulutnya.
Dia juga melakukan hal yang sama. Mengucapkan kata-kata yang sama, dan menunjuk
ke arah jari telunjuk ku. Dia, ya, kini ia tengah menatapku dengan tatapan
ingin segera memangsaku hidup-hidup.
Sementara polisi itu berdiri, menunjuk ku, kemudian beralih
menunjuknya. Wajahnya garang, “Jangan coba main-main dengan saya. Dia siapa? Kau?
Atau kau? Atau kalian berdua?”
Polisi itu secara bergantian menatapku kemudian menatapnya. Ketika
pandanganku tepat menyatu dengan bola mata hitamnya, seakan terjadi gaya tarik
menarik. Seperti ilmu fisika, kutub positif dan kutub negatif yang saling
bertolak belakang, justru mampu menciptakan ikatan yang sangat kuat. Yes,
gravity.
Memoriku kembali berputar. Ingatanku kembali menerawang. Otakku
kembali bekerja. Dan akhirnya pikiranku pun memasuki masa-masa itu kembali. Masa
kejayaan kami. Masa dimana hanya ada tawa dan canda yang selalu mengisi
hari-hari kami. Masa dimana deru mesin motor kami saling berpacu, kencang
sekali, namun tetap berjalan beriringan. Masa dimana tak ada lara, tiada duka,
dan hanya ada suka yang mengiringi setiap langkah kami. Masa dimana tak pernah terduga
malapetaka itu akan datang menghampiri.
*
to be continued Aris-Arin-Aren (2)
No comments:
Post a Comment