Sunday, August 26, 2012

Arestya (1)

“Jadi ini rumahmu?”
“Bukan. Rumah ayahku.”

Aku menatap ke sekelilingku. Pilar-pilar besar yang berdiameter kurang lebih 60 sentimeter menjulang tinggi dan berfungsi menyanggah bangunan-bangunan diatasnya. Dinding dengan cat tembok berwarna abu-abu terang dan beberapa garis berwarna hitam. Lalu dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu berbagai macam bentuk. Lantai marmer yang putih mengkilap dan terasa sangat dingin ketika bersentuhan dengan permukaan telapak kaki ku. Jadi benar disini tempat tinggalnya?
*

Kamarku adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa merasa benar-benar bebas. Tanpa aturan. Rasanya seperti nggak perlu keluar kamar saja. Risih pagi-pagi sarapan omelan dari papa. Pulang sekolah nyampe rumah telat, dapet ceramah dari mama. Bolos les baru sekali juga langsung kena seret sama abang. Semua orang rumah itu tidak ada satu pun yang berpihak kepadaku. Semuanya, bikin jenuh.

Arestya, teman sekelasku.
Kemarin itu pertama kalinya aku masuk ke rumahnya, rumah sebesar dan semewah itu, tempat tinggalnya. Awalnya ragu kalau itu rumah Ares, dia bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kemewahan hidupnya. Tampangnya pun biasa saja, seperti tidak berbakat jadi orang kaya -,- tapi aku yang salah. Dia bahkan jauh lebih kaya dibanding teman sekelasku yang selama ini sudah ku anggap anak paling kaya raya di kelas. Eh ternyata Ares jauh lebih konglomerat.

Aku bukan tergiur dari segi materi, tetapi dari moralnya. Bravo untuk Ares! Dia tetap sederhana, kalau aku bilang sih, low profile. Lagi pula, aku menyukai cara hidupnya, enak. Bisa bebas kemana saja dan ngapain aja tanpa ada yang mengatur. Kedua orang tuanya pelaut, mereka berlayar sambil berdagang ke pulau-pulau bahkan negeri yang jauh disana. Pulangnya baru dua bulan sekali. Mungkin kalau hidupku seperti itu, surga kali ya? Pulang sekolah telat nggak bakal ada yang marah-marah. Mau bolos les ataupun jalan-jalan sama temen juga nggak bakal kena omel. Bisa bebas kemana saja. Bebas!

Tapi kalau teringat kata-kata Ares, aku jadi ragu sendiri. Sebenarnya yang salah itu aku atau orang tuaku? Mereka terlalu over protective kepadaku. Aku bukan anak kecil lagi, bukan anak mami yang kemana-mana harus selalu diantar-jemput oleh abang. Eh kalau begitu anak abang bukan anak mami -,-

“Itu kan karena mereka sayang sama kamu Din,” sayang? Tentu saja aku paham betul hal itu. Tentu saja aku benar-benar sadar kalau keluargaku menyayangiku. Tapi nggak harus dengan cara seperti itu kan?
“Nggak enak Din tinggal sendirian, sepi. Harusnya kamu bersyukur bisa berkumpul sama orang tuamu setiap hari. Nah aku? Mesti nunggu dua bulan dulu,” jadi menurut Ares, bersyukur adalah setiap kali aku berkumpul sama mama, papa, dan abang, selalu aku yang kena sasaran tembak. Ditembaki omelan, ceramah, nasehat-nasehat yang harusnya ditujukan untuk kecil, bukan anak usia 17 tahun sepertiku.
“Kamu salah Din, kamu nggak ngerti gimana rasanya pulang ke rumah nggak ada yang nyambut. Buka pintu, masuk rumah, tutup pintu, sepi Din, monoton. Lebih baik diomelin daripada nggak ada yang nyambut sama sekali,” salah! Lebih baik disambut sama pesta barbeque daripada sama omelan-omelan!
“Hari Minggu besok ayah sama bundaku pulang, mau ikut aku jemput mereka ke pelabuhan?”

Hari Minggu. Nggak ada salahnya kan pergi menemani Ares menjemput kedua orang tuanya? Lagi pula, aku ingin tau seperti apa orang tuanya. Apakah berwajah garang seperti papaku, atau berwajah cerewet seperti mamaku? Atau bahkan berwajah jelek seperti abangku? -,-
*

Ponsel Ares non-aktif setelah terakhir menjawab teleponku lima belas menit yang lalu. Aku masih membeku di depan televisi. Bahkan layar kaca TV-ku masih menyiarkan berita yang sama. Sama seperti lima belas menit yang lalu. Berita yang hampir membuatku menelan biji kurma yang sedang ku makan.

Berita ini, adalah kasus berita yang sudah terlalu sering ku lihat di TV. Bahkan aku sendiri sampai sudah bosan. Biasanya, aku hanya menonton berita untuk sekedar menambah informasi. Berita ini juga dari dulu belum pernah membuatku gemetaran hebat seperti ini.

Baru kali ini.

Ya, baru kali ini aku benar-benar menonton siaran berita di TV secara keseluruhan. Biasanya aku juga tidak pernah menggubrisnya. Tapi ini lain, mungkin sama kasus, tapi benar-benar lain tokoh. Kalau yang aku lihat di TV biasanya menimpa orang-orang asing yang sama sekali tidak ku kenal, memang kali ini juga menimpa orang asing yang tidak ku kenal, ralat, belum ku kenal tepatnya. Tapi yang satu ini sudah benar-benar sangat ingin ku kenal.

12 Desember 2009, Kapal Layar "El Vadeo" tenggelam di Perairan Selat Sunda, pukul 04.00 dini hari. Belum ada informasi lebih lanjut mengenai korban selamat.
*
to be continued Arestya (2)

No comments:

Post a Comment