Saturday, September 22, 2012

Sebuah Cerita Lama


Tentang kami. Yang selalu bermandikan tawa dan berselimut canda setiap hari. Yang selalu mencomot makanan satu sama lain dengan gurau yang tak lagi terhindarkan. Yang selalu menatap langit yang sama di setiap senja. Yang selalu bangga dengan guyonan-guyonan gila serta topik obrolan ringan dan tak berbobot. Yang selalu menyamakan langkah kaki dan berhenti sejenak ketika salah satu dari kaki kami tertinggal di belakang; saling menunggu.

Tentang kami. Sekelompok pelajar yang setiap pagi tak pernah absen hadir ke sekolah. Sekumpulan kawan dekat yang bertekat tak akan pernah menjadi lawan. Sekawanan murid berseragam putih abu-abu dengan tas ransel di pundak masing-masing.

Tentang kami. Aku, kamu, dia, dan dia.

Aku masih mengingatnya dengan betul ketika kau melajukan motormu dengan kecepatan diatas 80 km/jam dan memaksaku menikmati hembusan angin yang begitu kencang. Ketika ku mulai terjebak dengan ketakutan diri sendiri dan kamu meraih telapak tanganku, menggenggamnya dan meletakkan melingkari perutmu. Kemudian saat ku lirik dari spion motormu, sesungging senyuman terlintas di wajahmu. Entahlah.

Satu hari setelah kejadian itu, aku mulai merasakan sesuatu yang asing dan berbeda dari dalam dirimu, yang sebelumnya belum pernah ku rasa akan sedekat ini. Aku dan kamu, juga mereka, sudah 5  tahun saling mengenal dan berbincang akrab setiap hari. Namun sensasi yang begitu melumpuhkan kaki ku tiba-tiba dengan sendirinya datang menghanyutkan, menenggelamkan, dan menewaskan ku dalam ketertarikanku. Ya, klise, aku mulai tertarik padamu.

Hari-hari berjalan dengan sangat indah, antara aku, dan kamu. Tanpa mereka ketahui, tanganku  hampir tak pernah terlepas dari genggaman tanganmu yang begitu erat, hangat, penuh kasih, dan meneduhkan. Tanpa sepengetahuan mereka, aku dan kamu secara perlahan pun mulai melangkahkan kaki dengan cepat, sedang mereka masih berjalan dengan santai dan tak terburu-buru. Langkahku dan langkahmu, tak lagi beriringan dengan mereka. Tanpa mereka tau, aku dan kamu sudah selangkah lebih maju.

Malapetaka itu terjadi ketika dia mengutarakan isi hatinya kepadaku. Dia tak hanya menyatakan, namun juga menanyakannya padaku. Kamu tau? Saat itu yang aku inginkan cuma kamu. Saat itu yang aku pikirkan cuma kamu. Saat itu harusnya kamu datang lalu menarik tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku hampir tak bisa berdiri ketika sadar bahwa dia telah mengungkapkan seluruh curahan hatinya, bahwa dia menyayangiku, menginginkanku, dan mengharapkanku. Namun apa yang aku jawab?

“Maaf Ren, aku nggak bisa. Jangan tanya aku lebih jauh, sebab aku mencintai sahabatku sendiri, yang juga sahabatmu,”
“Sudah ku duga, kamu dan Aldi tidak biasa-biasa saja belakangan ini. Ternyata kalian sudah saling mencintai. Atau bahkan kalian sudah pacaran? Lebih tepatnya, di belakangku dan Lisa? Iya ya?”

Runtuh sudah pertahananku. Air mataku mengalir deras. Ku lirik Lisa, satu-satunya teman perempuan yang paling dekat dengan ku, teman sebangku ku sejak kelas satu, matanya menerawang menatapku. Tak percaya, tak menduga, tak menyengka. Ya, aku tau, ia benar-benar telah kecewa. Lebih tepatnya, ku kecewakan.

Aku kelabakan mencari sosok kamu yang akan muncul dengan cengiran khasmu kemudian mampu  mencairkan suasana kembali meski sekeras es apapun. Ternyata nihil, kamu tak ada disana saat itu.

Tentang percintaan dalam lingkup persahabatan. Aku, kamu, dia, dan dia. Aku ataupun kamu, kami sadar sepenuhnya bahwa kami terlalu egois. Mengorbankan 5 tahun menjalin kisah bersama, merajut mimpi, menciptakan tawa dan cerita haru bersama, hanya demi perasaan ‘asing’ yang beberapa bulan ini tak pernah berhenti mengusikku; dia mencintaiku, namun aku dan kamu telah terlanjur saling jatuh cinta.

Mereka mulai menjauh. Entahlah, di antara kami ataupun mereka, tak jelas pihak mana yang benar-benar menjauh dan menghindar satu sama lain. Namun yang membuatku menyesal seumur hidup adalah, kami tak lagi menjadi kawan. Aku ataupun kamu, telah merusak segalanya, menghancurkan tawa yang kini menjelma menjadi lara. Mengakhiri kisah kami berempat dengan masing-masing ego dan dendam yang membara.

Tak ada lagi langkah kami yang selalu beriringan. Tak ada lagi candaan seusai pulang sekolah. Tak ada lagi tawa yang dulu bahkan setiap harinya tak pernah lenyap dari wajah kami. Tak ada lagi gurauan sambil mencomot makanan bersama. Hanya ada kepala yang saling menunduk tiap kali aku berpapasan dengan mereka. Tak ada lagi tatapan mata kami yang saling menatap dengan penuh kasih.

Aku dan kamu, saling menghindar dengan mereka. Seharusnya yang paling berdosa disini adalah aku. Perasaan bersalah datang menghampiri tiap kali melihat wajahnya. Kami sadar, kami tinggal satu atap. Sudah semestinya kami hidup rukun di bangunan ini. Namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Hingga ujian pun tiba, menjelang kelulusan, kemudian perpisahan.

Maafkan aku teman, pengkhianatan ini seharusnya tak pernah ku lakukan terhadap teman-teman terhebat seperti kalian; Reno dengan mata sipitnya, dan Lisa dengan behel warna-warninya.

No comments:

Post a Comment