Tentang kami. Yang selalu bermandikan tawa dan berselimut
canda setiap hari. Yang selalu mencomot makanan satu sama lain dengan gurau
yang tak lagi terhindarkan. Yang selalu menatap langit yang sama di setiap
senja. Yang selalu bangga dengan guyonan-guyonan gila serta topik obrolan
ringan dan tak berbobot. Yang selalu menyamakan langkah kaki dan berhenti
sejenak ketika salah satu dari kaki kami tertinggal di belakang; saling
menunggu.
Tentang kami. Sekelompok pelajar yang setiap pagi tak pernah
absen hadir ke sekolah. Sekumpulan kawan dekat yang bertekat tak akan pernah
menjadi lawan. Sekawanan murid berseragam putih abu-abu dengan tas ransel di
pundak masing-masing.
Tentang kami. Aku, kamu, dia, dan dia.
Aku masih mengingatnya dengan betul ketika kau melajukan
motormu dengan kecepatan diatas 80 km/jam dan memaksaku menikmati hembusan
angin yang begitu kencang. Ketika ku mulai terjebak dengan ketakutan diri
sendiri dan kamu meraih telapak tanganku, menggenggamnya dan meletakkan
melingkari perutmu. Kemudian saat ku lirik dari spion motormu, sesungging
senyuman terlintas di wajahmu. Entahlah.
Satu hari setelah kejadian itu, aku mulai merasakan sesuatu
yang asing dan berbeda dari dalam dirimu, yang sebelumnya belum pernah ku rasa
akan sedekat ini. Aku dan kamu, juga mereka, sudah 5 tahun saling mengenal dan berbincang akrab
setiap hari. Namun sensasi yang begitu melumpuhkan kaki ku tiba-tiba dengan
sendirinya datang menghanyutkan, menenggelamkan, dan menewaskan ku dalam
ketertarikanku. Ya, klise, aku mulai tertarik padamu.
Hari-hari berjalan dengan sangat indah, antara aku, dan
kamu. Tanpa mereka ketahui, tanganku hampir tak pernah terlepas dari genggaman
tanganmu yang begitu erat, hangat, penuh kasih, dan meneduhkan. Tanpa sepengetahuan
mereka, aku dan kamu secara perlahan pun mulai melangkahkan kaki dengan cepat,
sedang mereka masih berjalan dengan santai dan tak terburu-buru. Langkahku dan
langkahmu, tak lagi beriringan dengan mereka. Tanpa mereka tau, aku dan kamu
sudah selangkah lebih maju.
Malapetaka itu terjadi ketika dia mengutarakan isi hatinya
kepadaku. Dia tak hanya menyatakan, namun juga menanyakannya padaku. Kamu tau? Saat
itu yang aku inginkan cuma kamu. Saat itu yang aku pikirkan cuma kamu. Saat itu
harusnya kamu datang lalu menarik tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu.
Aku hampir tak bisa berdiri ketika sadar bahwa dia telah mengungkapkan seluruh
curahan hatinya, bahwa dia menyayangiku, menginginkanku, dan mengharapkanku. Namun
apa yang aku jawab?
“Maaf Ren, aku nggak bisa. Jangan tanya aku lebih jauh,
sebab aku mencintai sahabatku sendiri, yang juga sahabatmu,”
“Sudah ku duga, kamu dan Aldi tidak biasa-biasa saja
belakangan ini. Ternyata kalian sudah saling mencintai. Atau bahkan kalian
sudah pacaran? Lebih tepatnya, di belakangku dan Lisa? Iya ya?”
Runtuh sudah pertahananku. Air mataku mengalir deras. Ku lirik
Lisa, satu-satunya teman perempuan yang paling dekat dengan ku, teman sebangku
ku sejak kelas satu, matanya menerawang menatapku. Tak percaya, tak menduga,
tak menyengka. Ya, aku tau, ia benar-benar telah kecewa. Lebih tepatnya, ku
kecewakan.
Aku kelabakan mencari sosok kamu yang akan muncul dengan
cengiran khasmu kemudian mampu mencairkan suasana kembali meski sekeras es
apapun. Ternyata nihil, kamu tak ada disana saat itu.
Tentang percintaan dalam lingkup persahabatan. Aku, kamu,
dia, dan dia. Aku ataupun kamu, kami sadar sepenuhnya bahwa kami terlalu egois.
Mengorbankan 5 tahun menjalin kisah bersama, merajut mimpi, menciptakan tawa
dan cerita haru bersama, hanya demi perasaan ‘asing’ yang beberapa bulan ini
tak pernah berhenti mengusikku; dia mencintaiku, namun aku dan kamu telah
terlanjur saling jatuh cinta.
Mereka mulai menjauh. Entahlah, di antara kami ataupun
mereka, tak jelas pihak mana yang benar-benar menjauh dan menghindar satu sama
lain. Namun yang membuatku menyesal seumur hidup adalah, kami tak lagi menjadi
kawan. Aku ataupun kamu, telah merusak segalanya, menghancurkan tawa yang kini
menjelma menjadi lara. Mengakhiri kisah kami berempat dengan masing-masing ego dan
dendam yang membara.
Tak ada lagi langkah kami yang selalu beriringan. Tak ada
lagi candaan seusai pulang sekolah. Tak ada lagi tawa yang dulu bahkan setiap
harinya tak pernah lenyap dari wajah kami. Tak ada lagi gurauan sambil mencomot
makanan bersama. Hanya ada kepala yang saling menunduk tiap kali aku berpapasan
dengan mereka. Tak ada lagi tatapan mata kami yang saling menatap dengan penuh
kasih.
Aku dan kamu, saling menghindar dengan mereka. Seharusnya yang
paling berdosa disini adalah aku. Perasaan bersalah datang menghampiri tiap
kali melihat wajahnya. Kami sadar, kami tinggal satu atap. Sudah semestinya
kami hidup rukun di bangunan ini. Namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Hingga
ujian pun tiba, menjelang kelulusan, kemudian perpisahan.
Maafkan aku teman, pengkhianatan ini seharusnya tak pernah
ku lakukan terhadap teman-teman terhebat seperti kalian; Reno dengan mata
sipitnya, dan Lisa dengan behel warna-warninya.
No comments:
Post a Comment