want to know the previous story?
Arin mencoba menghentikan langkahku. Mendorong bahuku untuk
mundur. Aku hampir saja meluncurkan tamparanku kalau saja aku tidak bisa mengontrol
tindakan ku yang sudah kesetanan. Aku melepaskan cengkramannya kemudian
melanjutkan langkahku tanpa sedetik pun menolehkan kepalaku ke arah Arin yang
telah jatuh tersungkur.
“Kalian bisa bicarain ini baik-baik, tanpa balapan! Ris stop
Ris!”
Telingaku semakin memanas. Bahkan kalimat Arin yang semakin
lama semakin tak terdengar olehku sama sekali tak membuatku mengurungkan niatku.
Aku meneruskan langkahku menuju parkiran belakang sekolah. Menstarter motor dan
melaju dengan kecepatan jauh diatas normal. Berbagai macam kejadian belakangan
ini tak henti-hentinya berputar dalam otakku seiring dengan kepalan tanganku
yang semakin memacu gas lebih kencang lagi.
*
“Aren! Aris! Stop! Plis gue mohon jangan lakuin ini! Kita
bisa bicarain ini baik-baik,”
Aku sudah siap bertengger diatas motorku. Wajahku tertutup helm
fullface putih sementara Aren yang tepat berada di sampingku juga tak mau
kalah. Antara aku maupun Aren, kami tak menghiraukan jeritan bahkan tangisan
Arin yang semakin menjadi-jadi.
“Plis guys, kalo kalian masih nganggep gue sahabat kalian,
jangan lakuin hal ini. Kalian itu sahabat! Kita itu sahabat! Sahabat itu nggak
dengan cara seperti ini kalo menyelesaikan masalah,”
Arin masih saja mencoba menghalangi kami. Berdiri di tengah-tengah
jalan kami dengan kedua tangannya yang terrentang. Aku mengalihkan pandanganku
dari Arin. Karena kalau aku terus memandangnya, bisa-bisa aku turun dari motor
dan langsung memeluk sahabat sekaligus gadis yang sangat ku sayangi ini. Aku
kembali menolehkan kepalaku, balas menatap tajam ke arah Aren.
Kami laki-laki, bukan banci. Dan akan segera mengakhiri
persaingan ini. Dengan segenap keyakinan serta kebencian yang saling
menyelimuti.
*
Terdengar bunyi rem yang ditarik dengan sangat mendadak
bersamaan dengan bunyi benturan yang sangat keras. Kepalaku yang masih terbungkus
helm menyapu aspal hitam dengan kasar dan dapat kurasakan sekujur tubuhku
kesakitan tak karuan. Kepalaku pening hebat dan tanganku kram bukan main. Perutku
mual, leherku nyeri dan kaki ku mati rasa. Seperti remuk. Ya, seperti itulah
yang sedang kurasakan.
Arin.
Nama itu tiba-tiba terbersit dalam benakku dan lagi-lagi
tiba-tiba memberiku kekuatan untuk bangkit, membuka mataku kemudian mengamati
sekeliling. Damn! Arin berada di
pelukan Aren dengan darah yang mengucur dari pelipisnya. Bersamaan dengan hal
itu juga mataku memanas, pandanganku kabur, penglihatanku buram, semakin buram,
kemudian redup, semakin redup, dan gelap. Semakin gelap lagi sehingga tak ada
setitik cahaya pun yang tertangkap oleh mataku. Semuanya buram, gelap, dan,
pening.
*
Hal terakhir yang masih ku ingat dengan jelas saat Arin
tiba-tiba memotong jalan kami. Berlari ke tengah jalan beraspal dan tak dapat
dihindarkan lagi, aku menarik rem dengan sekuat tenaga bersamaan dengan bunyi
motor Aren yang oleng lalu menabrak ban depanku. Sedetik kemudian terdengar
jeritan seseorang. Cewek. Menyerukan namaku dan nama Aren. Setelah itu, kulihat
Aren memeluk Arin dengan tangis yang luar biasa meledak-ledak. Arin yang tak
kunjung membuka matanya dengan darah yang mengalir hebat dari kepalanya.
Tragis.
Arin…
*
to be continued Aris-Arin-Aren (end)
No comments:
Post a Comment