Monday, October 1, 2012

Aris-Arin-Aren (2)


want to know the previous story?

Arin mencoba menghentikan langkahku. Mendorong bahuku untuk mundur. Aku hampir saja meluncurkan tamparanku kalau saja aku tidak bisa mengontrol tindakan ku yang sudah kesetanan. Aku melepaskan cengkramannya kemudian melanjutkan langkahku tanpa sedetik pun menolehkan kepalaku ke arah Arin yang telah jatuh tersungkur.

“Kalian bisa bicarain ini baik-baik, tanpa balapan! Ris stop Ris!”

Telingaku semakin memanas. Bahkan kalimat Arin yang semakin lama semakin tak terdengar olehku sama sekali tak membuatku mengurungkan niatku. Aku meneruskan langkahku menuju parkiran belakang sekolah. Menstarter motor dan melaju dengan kecepatan jauh diatas normal. Berbagai macam kejadian belakangan ini tak henti-hentinya berputar dalam otakku seiring dengan kepalan tanganku yang semakin memacu gas lebih kencang lagi.
*

“Aren! Aris! Stop! Plis gue mohon jangan lakuin ini! Kita bisa bicarain ini baik-baik,”


Aku sudah siap bertengger diatas motorku. Wajahku tertutup helm fullface putih sementara Aren yang tepat berada di sampingku juga tak mau kalah. Antara aku maupun Aren, kami tak menghiraukan jeritan bahkan tangisan Arin yang semakin menjadi-jadi.

“Plis guys, kalo kalian masih nganggep gue sahabat kalian, jangan lakuin hal ini. Kalian itu sahabat! Kita itu sahabat! Sahabat itu nggak dengan cara seperti ini kalo menyelesaikan masalah,”

Arin masih saja mencoba menghalangi kami. Berdiri di tengah-tengah jalan kami dengan kedua tangannya yang terrentang. Aku mengalihkan pandanganku dari Arin. Karena kalau aku terus memandangnya, bisa-bisa aku turun dari motor dan langsung memeluk sahabat sekaligus gadis yang sangat ku sayangi ini. Aku kembali menolehkan kepalaku, balas menatap tajam ke arah Aren.

Kami laki-laki, bukan banci. Dan akan segera mengakhiri persaingan ini. Dengan segenap keyakinan serta kebencian yang saling menyelimuti.
*

Terdengar bunyi rem yang ditarik dengan sangat mendadak bersamaan dengan bunyi benturan yang sangat keras. Kepalaku yang masih terbungkus helm menyapu aspal hitam dengan kasar dan dapat kurasakan sekujur tubuhku kesakitan tak karuan. Kepalaku pening hebat dan tanganku kram bukan main. Perutku mual, leherku nyeri dan kaki ku mati rasa. Seperti remuk. Ya, seperti itulah yang sedang kurasakan.

Arin.

Nama itu tiba-tiba terbersit dalam benakku dan lagi-lagi tiba-tiba memberiku kekuatan untuk bangkit, membuka mataku kemudian mengamati sekeliling. Damn! Arin berada di pelukan Aren dengan darah yang mengucur dari pelipisnya. Bersamaan dengan hal itu juga mataku memanas, pandanganku kabur, penglihatanku buram, semakin buram, kemudian redup, semakin redup, dan gelap. Semakin gelap lagi sehingga tak ada setitik cahaya pun yang tertangkap oleh mataku. Semuanya buram, gelap, dan, pening.
*

Hal terakhir yang masih ku ingat dengan jelas saat Arin tiba-tiba memotong jalan kami. Berlari ke tengah jalan beraspal dan tak dapat dihindarkan lagi, aku menarik rem dengan sekuat tenaga bersamaan dengan bunyi motor Aren yang oleng lalu menabrak ban depanku. Sedetik kemudian terdengar jeritan seseorang. Cewek. Menyerukan namaku dan nama Aren. Setelah itu, kulihat Aren memeluk Arin dengan tangis yang luar biasa meledak-ledak. Arin yang tak kunjung membuka matanya dengan darah yang mengalir hebat dari kepalanya.

Tragis.

Arin…
*
to be continued Aris-Arin-Aren (end)

No comments:

Post a Comment