Kamu tak akan pernah bisa ku gapai, ku raih, lalu ku miliki
seutuhnya. Rasanya mencemaskan dirimu itu bukanlah sesuatu hal yang asing
bagiku. Merindukanmu itu bagaikan udara yang setiap saat berhembus. Terkadang udara
memang tak pernah bisa kita rasakan. Namun tak jarang juga udara menjelma
menjadi angin. Awalnya lembut, menggelikan, namun angin bisa menjadi ganas dan
berbahaya yang sanggup menghancurkan serta merusak sekitarnya. Ya,
menggambarkan dan mengimajinasikan sesuatu yang berhubungan tentangmu itu
memang serumit itu.
Perkenalan sederhana, hanya ada tatapan bola mata kita yang
saling bertemu, kemudian seakan-akan menyatu dan saling terjadi gaya tarik
menarik. Aku merasa waktu sejenak berhenti dan dunia menjadi hitam putih. Hanya
siluetmu yang nampak berseri, berwarna indah yang menyolok penglihatanku. Kamu,
mengagumkan sekali.
Aku dan kamu lagi-lagi berada di tempat yang sama dan
lagi-lagi karena faktor keberuntungan. Aku pernah dengar suatu ungkapan,
bukankah kalau kita sering berada pada keadaan dimana keberuntungan itu
mempertemukan dua sisi yang berbeda, maka keberuntungan lah yang bertugas untuk
menyatukan mereka? Kalau aku dan kamu adalah tokohnya, bukankah saat ini kita sedang
dalam proses dipersatukan? Bukankah begitu?
Aku anggap saja iya karena kau juga tak segera menjawab
pertanyaanku. Saat aku ingin memperjelas hubungan, kamu malah beranjak dan
mengasingkan diri dariku. Menghindar dan selalu mengalihkan pandangan setiap
kali bola mata kita bertemu. Hal-hal seperti itu, tak pernah kita lakukan
sebelumnya. Aku beranikan diri menyebut “kita” karena aku harap antara aku dan
kamu bisa benar-benar menjadi “kita”.
Namun semuanya berbalik arah. Sepertinya kamu ingin menyirnakan sosokku dari hidupmu. Seperti kamu ingin membinasakan bayangku. Tapi mengapa? Apakah yang telah terjadi selama ini hanyalah sesuatu hal wajar dan biasa untukmu yang selalu ku anggap luar biasa? Bisa
kah kau jelaskan padaku sehingga aku tak perlu berpikiran buruk tentangmu? Klimaks;
kamu menjauh.
Pikiranku semakin berkecamuk dengan hal-hal negatif yang
terus-terusan mengitari otakku. Hilangnya kabar darimu dan semakin membentangnya
jarak antara aku dan kamu. Kamu kemana? Mengapa menghindar? Mengapa menjauh? Kamu selingkuh? Hal-hal sepele seperti inilah yang membuatku hampir
gemetaran hebat karena takut kehilangan sosokmu.
Aku ingin menggapaimu, meraihmu, memelukmu, mendekapmu,
memilikimu seutuhnya.
Namun seperti sengatan arus listrik yang menjalar ke seluruh
tubuhku, ketika kata-kata itu yang keluar dari bibir indahmu dan tak pernah
terduga sebelumnya. Aku tak akan pernah bisa meraihmu, menggenggam tanganmu,
memiliki sosokmu, menggapai hatimu seutuhnya. Tak akan pernah bisa. Kata-kata itu
terus berngiang dalam benak dan asaku. Menenggelamkan sejumlah angan yang
sempat tersimpan. Menewaskan sejumlah harapan yang selalu bertahan. Menghancurkan
segala kecemasan dan kerinduan.
Tanpa aku atau pun kamu inginkan, hal ini terjadi begitu
saja layaknya sebuah cerita fiksi dalam novel. Aku hampir meledak saat kamu
ungkapkan itu. Matamu merah, tubuhmu gemetar, jemarimu lemah tergulai, kepalamu
menunduk. Aku masih menantimu mengungkapkan kata-kata itu.
Namun akhirnya hatiku benar-benar meledak-ledak hebat tak
karuan saat kau bilang, “Kita tak akan pernah bisa bersatu. Karena sesungguhnya,
aku bukan hanya sekedar kakak kelasmu. Tapi aku abangmu, kakak kandungmu. Maaf jika
belakangan ini aku menghindar darimu. Aku hanya tak siap untuk tidak
mencintaimu lagi. Jangan tanya mengapa dan jangan salahkan aku. Kalau saja
orang tua kita tidak pernah memisahkan kita, mungkin aku tak akan mungkin
terlanjur jatuh cinta pada adik kandungku sendiri,”
Seketika itu tubuhku lemas. Kaki ku kaku, bibirku bungkam. Mataku
panas. Hancur. Ini adalah mimpi yang paling buruk diantara semua mimpi buruk yang pernah ku alami. Segenap rasa yang ada disini, di dada ku, di hatiku, hancur. Remuk.
Semuanya telah hancur berkeping-keping.
No comments:
Post a Comment