want to know the previous story?
“Res, jadi ini ayah bundamu? Syukurlah mereka selamat Res,”
Aku mengemban senyum kebahagiaan yang benar-benar tidak bisa
ku tahan lagi. Aku sesegera menjabat telapak tangan kedua orang di hadapanku
ini, lalu beralih menatap Ares, masih juga dengan senyumnya yang sulit
dijelaskan.
*
“Din, jangan pernah sia-siakan kedua orang tuamu ya,”
Kata-kata itu seakan bagai belati tajam yang langsung
merobek dada kiriku dan menusuk tepat di jantung. Menyia-nyiakan orang tuaku?
Bukankah aku telah melakukan hal itu?
Aku tersenyum kecut menanggapi. Sementara mata Ares
menerawang jauh tepat ke seberang lautan sana, aku mengikuti arah pandangannya.
Air biru itu sepertinya dingin sekali, atau bahkan sedingin es. Pantulan sinar
mentari membuat air biru itu nampak berkilauan, seperti mata Ares. Dua orang
paruh baya yang sedari tadi hanya diam saja kini mulai buka suara.
“Ceritakan semuanya nak,” terang ayah Ares sambil menepuk
pundak anaknya itu.
Ares beranjak dari tempatnya, berjalan dengan sedikit gontai
menuju bangku panjang di ujung sana. Ares mempersilahkanku untuk duduk, aku
hanya menurutinya saja. Sedangkan ia tetap dalam posisi berdiri sambil kembali
memandang lautan.
Seperti tersengat aliran listrik, mataku panas, tubuhku
kaku, sistem sel syaraf otakku tiba-tiba berhenti sejenak dan seperti tidak
bisa melakukan hal yang kuperintahkan. Bahkan untuk menolehkan kepalaku saja
rasanya benar-benar tidak sanggup.
“Bapak dan ibu tadi bukan orang tuaku. Mereka sahabat orang
tuaku. Mereka yang bersama orang tuaku selama dua bulan ini. Mereka bisa
selamat, tapi kenapa ayah bundaku tidak ya Din?”
Mulutku bungkam. Pita suaraku tercekat, sama sekali tak bisa
bersuara. Seperti ini namanya kehilangan orang tua? Seperti ini sakitnya? Bukan
aku yang kehilangan, tapi aku yang merasakan, tapi aku yang sakit. Ingin berontak
tapi tak bisa. Ingin berteriak tapi tak sanggup. Ingin menangis tapi tak mampu.
Sedangkan sosok yang berdiri di sampingku sambil menerawang jauh ke arah lautan
ini sama sekali tidak menangis?
“Berita di tv, surat kabar, radio, atau yang disiarkan
dimana-mana itu bohong Din. Kapal ayahku bukan tenggelam, tapi dirampok oleh
perompak. Semua orang yang ada di kapal itu disekap berhari-hari Din, tanpa
makan dan minum. Termasuk orang tuaku.”
Mataku mulai buram. Pandanganku mulai mengabur. Klimaks,
sebutir air mengalir lembut melalui mataku, pipiku, leherku, hingga pada
akhirnya terjun bebas ke tanah. Kepalaku tertunduk. Tragis, aku menangis.
“Oh iya, aku lupa bilang ke kamu Din kalo aku punya 2 adik
laki-laki. Mereka kembar, namanya Arya dan Aryo. Kalo mereka masih hidup, hari
ini mereka berulang tahun yang ke 4,”
Self-controlku
sudah mulai membaik. Aku bangkit dari tempatku duduk, berdiri disamping Ares
dan menyamakan pandanganku dengannya, tepat di satu titik sana, lautan.
“Sekarang, mereka, eh, dimana?”
“Nasibnya sama seperti kedua orang tuaku Din, dan orang-orang lainnya yang ada di kapal itu."
"Ditinggalkan orang-orang yang kamu sayangi itu sama seperti kamu ditinggalin sama hidup. Hidup ini bakal terus berjalan, tapi kita enggak Din. Kita malah diem, ketinggalan dan akhirnya ditinggal, kehilangan si hidup itu tadi.”
"Ditinggalkan orang-orang yang kamu sayangi itu sama seperti kamu ditinggalin sama hidup. Hidup ini bakal terus berjalan, tapi kita enggak Din. Kita malah diem, ketinggalan dan akhirnya ditinggal, kehilangan si hidup itu tadi.”
Hancur. Kalau aku jadi Ares, pasti lebih dari hancur. Ia telah
kehilangan ayahnya, bundanya, adik kembarnya, dan terakhir, hidupnya.
*
Sesuatu itu baru terasa sangat berharga saat kita sudah
tidak memilikinya lagi. Mungkin kasusnya sama seperti Ares. Ia pasti merasakan
hal itu, walau aku yakin saat sesuatu itu masih ada pun, Ares telah
menganggapnya berharga.
Namun aku? Mengapa Tuhan membuat jalan seperti itu untuk Ares?
Apakah itu bentuk suatu teguran untuknya? Tapi, memangnya Ares telah melakukan
hal buruk apa? Mengapa Tuhan tidak menegurku saja, walau aku yakin aku tak akan
sanggup.
Sesuatu itu baru
terasa sangat berharga saat kita sudah tidak memilikinya lagi.
Aku tak ingin membuktikan kata-kata itu. Aku rela mengubah
hidupku demi sesuatu yang berharga itu. Aku rela melakukan apa saja selagi
sesuatu itu masih ada bersamaku, disampingku, menemaniku selalu. Aku rela berjuang
demi sesuatu itu kapan pun saat kurasa aku masih mampu melakukannya. Sungguh. Sesuatu
itu akan tetap terasa berharga saat aku masih memilikinya. Sesuatu itu, orang
tuaku, dan keluargaku.
*
No comments:
Post a Comment