Saturday, October 27, 2012

Satu Tahun yang Lalu


Gefinraldy Aryasa Samudero.

Hai, apa kabar?
Baik.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Yang itu, saat aku pertama kali mengenalmu, oh ralat, bukan mengenalmu, hanya mengenal namamu. Nama yang aneh. Ya, dan aku berani menjamin hanya ada satu nama seperti itu di dunia.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?

Yang itu, saat kau pertama kali datang ke kelasku dengan langkah yang terburu-buru. Menenteng helm dan kemeja garis-garis warna abu-abu. Kemudian kamu duduk di bangku. Bangku itu milikku, yang sedang kamu duduki itu. Pertama kali kamu tersenyum sambil berkata, “Maaf aku telat. Harus dimaafin ya.” Sebuah argumen yang otoriter sekali.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku menyukai caramu berargumen. Saat aku menyukai caramu mengenakan kemejamu. Saat aku menyukai langkahmu yang selalu terburu-buru. Saat aku menyukai kau meransel tas di punggungmu. Dan saat aku menyukai senyummu. Tawamu.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku menulis tentangmu. Tentang dirimu. Dan kamu membaca tulisanku.
“Lagi naksir cowok ya Fi? Siapa? Pokoknya harus cerita,” pertanyaanmu saat itu, dan lagi-lagi, sangat otoriter.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu memaksaku untuk bercerita. Cerita apa? Ya, tentunya segala hal yang selalu ku tulis dan selalu kau baca. Kau benar-benar memaksaku. Hei Aryasa, bukankah sangat tidak mungkin kalau aku membocorkannya kepadamu; satu-satunya sosok yang menjadi bahan tulisanku selama ini.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku duduk dan kamu berdiri. Saat aku menunduk. Saat aku terdesak. Saat aku terancam olehmu. Saat kau benar-benar sudah muak dengan segala teka-teki usilku. Saat kau benar-benar sudah lelah dengan segala tulisanku, yang tak kunjung menjawab pertanyaanmu; siapa laki-laki itu.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu jadian dengan dia. Orang lain. Orang yang baru mengenalmu. Tidak dapat kulanjutkan, aku tak sanggup.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu akhirnya mengetahui segalanya. Saat aku akhirnya terdesak untuk mengatakan segalanya. Saat aku akhirnya terpikir untuk membocorkannya. Kau tau. Semuanya.
Paranoidku. Momok di setiap mimpiku. Hal sepele, hanya seorang teman yang menyukai temannya. Namun kamu menjauh. Kamu menghindar. Bahkan kamu tak pernah lagi membaca tulisanku. Padahal aku masih setia menulis tentangmu.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Aku ingat semuanya. Aku sudah terlalu sibuk setahun ini. Sibuk menerka-nerka tulisanmu. Sibuk untuk mencari diriku sendiri.
Aku lebih dulu tau namamu, nama anehmu. Aku lebih dulu mengenalmu. Aku lebih dulu menulis tentangmu. Aku lebih dulu menyukaimu. Aku lebih dulu di setiap aspek mengenai dirimu. Aku selalu menomorsatukan kamu.
Tapi kamu lebih dulu membohongiku. Kamu lebih dulu tau segalanya. Kamu lebih dulu menyimpan cerita. Kamu lebih dulu membuatku muak. Kamu lebih dulu membuatku lelah. Dan kamu lebih dulu menjadi temanku, bukan pacarku.

Miris. Menyakitkan.
Kamu adalah satu-satunya yang aku tulis. Tapi aku bukan satu-satunya yang akan kamu baca lagi.

Tidak adil.

No comments:

Post a Comment