Gefinraldy Aryasa Samudero.
Hai, apa kabar?
Baik.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Yang itu, saat aku pertama kali mengenalmu, oh ralat, bukan
mengenalmu, hanya mengenal namamu. Nama yang aneh. Ya, dan aku berani menjamin
hanya ada satu nama seperti itu di dunia.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Yang itu, saat kau pertama kali datang ke kelasku dengan
langkah yang terburu-buru. Menenteng helm dan kemeja garis-garis warna abu-abu.
Kemudian kamu duduk di bangku. Bangku itu milikku, yang sedang kamu duduki itu.
Pertama kali kamu tersenyum sambil berkata, “Maaf
aku telat. Harus dimaafin ya.” Sebuah argumen yang otoriter sekali.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku menyukai caramu berargumen. Saat aku menyukai
caramu mengenakan kemejamu. Saat aku menyukai langkahmu yang selalu
terburu-buru. Saat aku menyukai kau meransel tas di punggungmu. Dan saat aku
menyukai senyummu. Tawamu.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku menulis tentangmu. Tentang dirimu. Dan kamu membaca
tulisanku.
“Lagi naksir cowok ya
Fi? Siapa? Pokoknya harus cerita,” pertanyaanmu saat itu, dan lagi-lagi,
sangat otoriter.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu memaksaku untuk bercerita. Cerita apa? Ya,
tentunya segala hal yang selalu ku tulis dan selalu kau baca. Kau benar-benar
memaksaku. Hei Aryasa, bukankah sangat tidak mungkin kalau aku membocorkannya kepadamu;
satu-satunya sosok yang menjadi bahan tulisanku selama ini.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat aku duduk dan kamu berdiri. Saat aku menunduk. Saat aku
terdesak. Saat aku terancam olehmu. Saat kau benar-benar sudah muak dengan
segala teka-teki usilku. Saat kau benar-benar sudah lelah dengan segala
tulisanku, yang tak kunjung menjawab pertanyaanmu; siapa laki-laki itu.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu jadian dengan dia. Orang lain. Orang yang baru
mengenalmu. Tidak dapat kulanjutkan, aku tak sanggup.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Saat kamu akhirnya mengetahui segalanya. Saat aku akhirnya
terdesak untuk mengatakan segalanya. Saat aku akhirnya terpikir untuk membocorkannya.
Kau tau. Semuanya.
Paranoidku. Momok di setiap mimpiku. Hal sepele, hanya
seorang teman yang menyukai temannya. Namun kamu menjauh. Kamu menghindar. Bahkan
kamu tak pernah lagi membaca tulisanku. Padahal aku masih setia menulis
tentangmu.
Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Aku ingat semuanya. Aku
sudah terlalu sibuk setahun ini. Sibuk menerka-nerka tulisanmu. Sibuk untuk
mencari diriku sendiri.
Aku lebih dulu tau namamu, nama anehmu. Aku lebih dulu
mengenalmu. Aku lebih dulu menulis tentangmu. Aku lebih dulu menyukaimu. Aku lebih
dulu di setiap aspek mengenai dirimu. Aku selalu menomorsatukan kamu.
Tapi kamu lebih dulu
membohongiku. Kamu lebih dulu tau segalanya. Kamu lebih dulu menyimpan cerita. Kamu
lebih dulu membuatku muak. Kamu lebih dulu membuatku lelah. Dan kamu lebih dulu
menjadi temanku, bukan pacarku.
Miris. Menyakitkan.
Kamu adalah satu-satunya yang aku tulis. Tapi aku bukan
satu-satunya yang akan kamu baca lagi.
Tidak adil.
No comments:
Post a Comment