Wednesday, September 17, 2014

Radioactive (4)

Bab Empat

RIO POV
            Gue rasa ada yang aneh dari Ify. Akhir-akhir ini dia sering ngasih gue teka-teki, dan gue nggak pernah bisa jawab. Gue nggak pernah punya jawaban yang pas untuk mengeksekusi teka-tekinya. Entah dia dapat dari mana teka-teki semacam itu. Semenjak gue sering menghabiskan waktu belajar gue buat textingan sama Ify, gue jadi ngerasa dia berbeda dari awal sebelum gue kenal dia sampai cukup akrab seperti sekarang. Entah ya kenapa, gue ngerasa aja begitu.
            Gue kenal cukup akrab sama Ify, semenjak gue punya secret admirer. Pengagum rahasia. Keren kan? Dulu gue nggak begitu kenal dekat sama tuh cewek. Semuanya berawal dari Diklat OSIS. Dan dilanjutkan dengan hari-hari setelah kegiatan itu. Hari-hari bikin mading bareng anak-anak OSIS tepatnya. Seperti sekarang ini, seperti hari ini.
            Gue masih mendengar anak-anak berbincang-bincang diluar. Gue gerah sedari tadi jadi pusat perhatian anak-anak. Si Shilla itu, gombal mulu. Dan tepatnya, gombalin gue. Anak-anak bukannya malah belain gue eh ikutan ngerjain gue pula? Sial! Risih sumpah. Ini sebenarnya kerja bikin mading atau ajang penjodohan?

            “Yo Rio, sini deh dengerin Shilla gombalin lo, direspon kek,”
            Apalagi ini? Gue gerah diluar. Benar-benar nggak peduli apa saja yang sedang mereka bahas diluar. Gue cukup sadar dan cukup mendengar mereka membawa-bawa nama gue. Tapi, ya terus kenapa?
            “Yo tadi gue mampir ke X-3, nyari elo tapi nggak ada, kemana?”
            “Ke hatimu lah Shill,”
            Gue menjawab dengan gombalan basi pula. Lagian siapa sih yang mulai main gombal-gombalan duluan? Biar si Shilla ikutan gerah juga karena kata-kata gombal basi yang sekarang banyak digunakan oleh remaja tidak kreatif itu.
            “Shill absensi rapat kemaren jadi ilang beneran?” tanya gue serius.
            Gue menoleh ke samping, tepat ke arah Shilla, dan, entah kenapa, gue canggung sekali dengan tatapan gue. Gue buru-buru mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun yang gue tangkap malah Sivia sama Ify, 2 cewek super gila dan super iseng yang niat banget ngerjain gue! Gue menoleh ke samping. Lagi, Shilla masih menatap gue. Gue kenapa? Gerah karena terus-terusan ditatap seperti itu?
            “Iya Yo, nggak ada di map gue,”
            “Ketinggalan di kelas mungkin? Atau di rumah mungkin? Masa’ nggak ada? Siapa yang nyuri coba,”
            Gue memperhatikan raut wajah Shilla. Benar-benar most wanted girl. Putih, cantik, anggun, menawan, dan benar-benar mempesona. Cowok mana sih yang bakalan nolak kalau dihadirkan mahluk indah seperti si Shilla ini? Hm, mungkin gue. Gue yang bakal nolak. Eh itu pun juga kalau Shilla-nya mau sama gue.
            Tunggu, kenapa gue mendadak kagum sama gombalan-gombalan dia yang sukses membuat gue gerah barusan? Harusnya gue gerah, bukan kagum. Bedakan, gerah dan kagum. Kedua hal yang saling bertolak belakang.
            “Ya maling lah Yo,”
            Shilla menjawab dengan candaan. Senyumnya, astaga, cantik sekali!
            Beberapa detik berlalu, gue seakan terbius. Bahkan gue nggak bisa membalas ucapan Shilla barusan. Namun tiba-tiba, ada keinginan lagi yang muncul di otak gue.
            “Iya gue maling hatimu Shill,”
            Shilla menahan tawanya. Gue yakin pipinya pasti sudah memerah dari tadi. Seperti udang rebus! Lucu sekali, apalagi matanya yang seperti mata kucing. Serta bulu matanya yang lentik. Bahkan seluruh bagian di wajahnya yang mulus, putih, bersih dan sepertinya sudah terstruktur untuk menjadi seorang perfeksionis. Cewek di depan gue ini berhasil menciptakan beberapa getaran gempa di dalam bagian tubuh gue, hati.
*
            Rioooooo! :p
            Gue membaca pesan singkat dengan pengirim tanpa nama. Siapa? Biasanya yang sering SMS gue dengan gaya sapaan seperti itu ya Ify. Tapi gue yakin ini bukan Ify. Tapi tunggu, apa mungkin Ify ganti nomor? Atau pinjam nomor adiknya, mamanya, papanya, kakaknya, atau siapa saja lah. Tapi masa’ iya Ify? Ini masih pukul 18.48 belum waktunya textingan sama Ify. Gue tau banget Ify selalu SMS gue diatas jam 9 malam. Tapi kalau ini bukan Ify, lalu siapa?
            Sudah, nggak perlu gue respon. Paling-paling hanya orang iseng. Gue memang jarang merespon SMS yang tanpa menyertakan namanya terlebih dahulu. Buat apa? Kalau SMS itu memang benar penting, nomor itu pasti akan SMS lagi atau bahkan langsung menelepon gue. Tapi tidak pada nomor ini. Gue sudah membiarkan SMS ini sejak 2 jam yang lalu. Sama sekali tidak menggubrisnya. Dan tidak ada tanda-tanda kalau SMS ini memang penting. Orang iseng, biarkan saja lah.
            Jam 10 malam. Ify tumben sekali belum SMS gue? Dan, gue masih penasaran siapa orang dibalik nomor yang nggak gue kenali tadi. Gue menutup buku tulis full rumus tentang persamaan integral yang benar-benar membuat kepala pusing serta mual ingin muntah! Malam ini monoton. Bahkan nggak ada lagi SMS yang masuk ke nomor gue setelah pesan singkat tanpa nama tadi. Menunggu adalah hal yang paling gue benci. Termasuk menunggu SMS seseorang, entah dari siapa itu.
            Siapa?
            Gue akhirnya membalas SMS dengan nomor tanpa nama tadi. Terkirim!
            Gue buru-buru meraih ponsel yang tergeletak disamping gue setelah merasakan beberapa getaran kecil. Dan gue yakin, orang itu–entah siapa–membalas SMS gue.
            Benar saja! Dan gue sangat terbelalak saat mengetahui sender SMS itu.
            Aku shilla yo, X-1, yang tadi kita main gombal-gombalan :p
            Entah kupu-kupu dari mana yang tengah menggelitik perut gue sekarang. Entah mengapa gue bisa segirang ini. Bayangkan saja, mendapat SMS dari the most wanted girl yang walaupun isinya hanya sekedar sapaan. Tapi gue yakin kalau gue satu-satunya cowok yang beruntung malam ini. Cewek seperfek Shilla pasti punya banyak pengagum diluar sana. Dan belum tentu semuanya kebagian mendapat jatah SMS–sekedar menyapa–dari Shilla. Satu lagi, gue beruntung karena bukan termasuk bagian dari mereka yang tidak beruntung. Karena faktanya, malam ini dewi fortuna sedang berpihak ke gue!
            Gue tersenyum sendiri membaca ulang percakapan gue sama Shilla lewat teks itu. Bahkan gue terus-terusan memandangi layar ponsel dengan harap-harap cemas kalau-kalau SMS gue nggak dibalas. Gue bahkan bisa saja kegirangan saat ponsel gue bergetar, dan tertulis tulisan dengan bahasa asing disana, 1 messege received from: Shilla X-1
            Pukul 01.54
            Gue terbangun dari tidur. Gue baru saja sadar kalau gue tertidur. Atau mungkin gue tertidur saat sedang asiknya textingan dengan Shilla? Tapi, apakah itu bukan cuma mimpi gue? Apa itu semua bukan imajinasi gue sewaktu gue tertidur barusan? Dan disaat gue bangun gue sama sekali nggak mendapati hal itu. Tragis.
            Gue buru-buru meraih ponsel, dengan segala resiko kecewa ataupun senang yang akan menghampiri gue setelah ini, gue memberanikan diri membuka menu pesan. Gue sempat menahan nafas sejenak, berharap hal-hal yang sudah memenuhi otak gue semalaman ini bukan hanya mimpi belaka.
Ada nama itu disana, ada nomor itu.
Gue menghela nafas lega dan benar-benar lega terlebih lagi karena semalam gue benar-benar textingan sama Shilla! Entah mengapa gue bisa segirang ini. Gue sempat kecewa sewaktu melihat pesan terakhir dari gue pukul 23.46 dan selanjutnya tidak ada balasan lagi dari Shilla, sial! Mungkin cewek itu sudah tertidur. Sama seperti gue yang juga tak sengaja tertidur. Bahkan dalam hal tertidur saja kami bisa kompak, apakah ini tanda-tanda?
*
IFY POV
            “Fy!”
            Gue menoleh ke belakang, mendapati sosok itu sedang berlari ke arah gue. Sementara gue masih mengatur jantung gue yang semakin jedag jedug tak karuan, Rio malah menepuk bahu gue dan menciptakan jedugan aneh yang lebih hebat dari sebelumnya.
            “Gue tau! Gue tau siapa pengagum rahasia gue itu, yang lo sama Sivia rahasiain dari gue,”
            Seketika itu pikiran gue kosong. Entah, rasanya seperti baru saja mendapat pukulan hebat yang menyebabkan seluruh file dalam otak gue lenyap begitu saja. Gue mencoba mengatur nafas kembali agar Rio tak curiga kalau sedari tadi gue hampir berhenti bernafas karena pernyataannya barusan.
            “Tau dari mana lo? Jangan sok tau,”
            “Ya emang sih gue sok tau, tapi gue serius Fy. Lo bilang dia anak X-1 kan? Shilla!”
            Shilla?
            Kaki gue seketika tak bertulang sewaktu Rio menyebutkan nama itu, nama wanita cantik itu. Bibir gue seketika tak memiliki tenaga sedikitpun untuk sekedar mengeluarkan beberapa kata yang masih tersimpan. Wajah Rio girang sekali, sangat girang bahkan. Gue memang nggak pernah menduga Rio akan segirang ini saat dia tau siapa pengagum rahasianya itu. Tentu saja, Rio memang tak akan segirang ini kalau pengagum rahasianya itu bukan Shilla, the most wanted girl. Tapi raut wajah kegirangan yang saat ini ada di hadapan gue adalah benar-benar milik Rio.
            “Fy! Kalo dari awal lo bilang yang jadi pengagum rahasia gue itu si Shilla, gue nggak akan nunggu dia deketin gue, bahkan gue yang akan maju duluan!”
            Klimaks sudah. Rio sudah mengetahui siapa pengagum rahasianya. Bukan gue, tapi Shilla. Setidaknya, itu yang Rio tau.
            Sedangkan gue? Apa yang akan gue lakukan setelah ini? Tidak tau. Mungkin menghibur diri dengan cara makan bareng Sivia dan Gabriel, menumpahkan semua cerita diluar rencana yang telah terjadi hari ini, dan membiarkan kesenangan Rio berlarut tanpa harus gue berkata jujur bahwa Shilla hanya sosok yang kebetulan hadir pada waktu yang tepat sehingga Rio berkesimpulan cewek itu lah yang mengaguminya selama ini. Well, apakah gue akan diam saja? Tentu saja iya.
*
            Pukul sepuluh malam. Tak ada textingan dengan Rio. Seharusnya gue sudah bisa menebak hal ini akan terjadi. Namun gue juga nggak akan menyalahkan Shilla karena tiba-tiba hadir begitu saja ditengah-tengah Rio dan gue, meskipun kami pun tidak lebih dari teman. Gue yakin Shilla juga tak tau menahu mengenai hal ini. Jadi yang pantas disalahkan atas semua hal ini adalah gue. Ya, gue.
            Drrt..drrt..
            Ponsel gue bergetar. Dengan gerakan reflek gue menyaut benda hitam itu dan buru-buru mengecek tulisan yang terpampang di layarnya. Rio?
            Ah bukan, ternyata Gabriel. Bodohnya gue, seharusnya gue sadar betul bahwa tak ada alasan bagi Rio untuk mengirim pesan ke gue malam ini. Kalau kemarin-kemarin Rio mengirim pesan di jam-jam seperti ini, malam ini gue harus menutup rapat harapan bodoh itu. Ayolah, kemarin-kemarin Rio belum textingan dengan Shilla, Fy! Malem ini sudah ada Shilla! Sadar Fy sadar!
            Nduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut
            Masih saja. Hanya ada dua orang di sekolah yang memanggil gue dengan sebutan ‘ndut’ ya siapa lagi kalau bukan Gabriel dan Sivia? Gue heran, badan gue yang nggak berisi sama sekali bahkan jauh dari kata ideal ini mereka sebut gendut?
            Gue gak gendut yel-,-
            Sedetik kemudian ponsel gue kembali bergetar. Ah Gabriel cepat sekali membalas pesan gue?
            Ndut besok berangkat rada pagi yaa biasa hari senen~
            Sivia. Gue tersenyum. Semenjak kejadian ‘bendera Jepang’ waktu itu, Sivia selalu jemput gue ke sekolah. Bahkan nganterin gue pulang juga. Istilahnya, semenjak masuk SMA ini gue jadi punya ‘sopir’ pribadi yang antar-jemput tiap hari, hihi. Sebenarnya, saking strategisnya lokasi rumah gue, siapapun bisa saja gue minta tolong buat nebeng ke sekolah heheh. Tapi Sivia sendiri yang selalu dengan ikhlas jemput gue tiap pagi. Dia malah seneng, ada temen berangkat ke sekolah–katanya.
            Sudah tugasnya Sivia setiap Senin pagi berangkat lebih awal karena harus membantu Pak Bon sekolahan menyiapkan keperluan upacara. Sudah tugasnya Sie WKN–Wawasan Kebangsaan–untuk menyiapkan keperluan sebelum upacara dimulai. Jadi gue bersama anak OSIS lain yang kebetulan sudah hadir di sekolah pada jam sepagi itu, ikut bantuin anak Sie KWN menyiapkan alat-alat upacara.
            Itu gue doain lo. Lo pengen gendut kan?-_-
            Setelah membalas pesan Sivia, giliran Gabriel membalas lagi.
            Tapi doa lo gak terkabul sampe sekarang yel. Gue gak gendut-gendut:( ngapain lo sms gue heh?
            Sivia sudah tidak lagi membalas pesan gue dan kini tinggal kontak Gabriel yang sedari tadi menampakkan dirinya di layar ponsel gue.
            Gue heran, teori mana yak ndut kalo orang yang tiap hari makannya diluar batas kendali tapi badannya ceking aja ga ngembang2?
            Gue melotot membaca pesan Gabriel. Dia ngatain gue ceking? Enak aja! Nggak konsisten. Tadi bilang gendut sekarang gue dibilang ceking? Memangnya ada gitu orang gendut tapi badannya ceking? Atau orang yang badannya ceking tapi gendut? Hah, lupakan.
            Teori?gapake teori langsung praktek. Gue nih contoh realnya.
            Kalau kalian-kalian heran kenapa orang ceking kayak gue makannya bisa bejibun banget banyaknya tapi nggak juga gendut, bukan kalian aja yang heran. Gue juga. Asli, gue suka makan. Sukaaaaa banget. Melebihi Sivia–yang emang susah makan–dan Gabriel–seorang cowok yang kudunya makannya lebih banyak dari gue.
            Wahaha, cepatlah gendut wahai ceking. Btw gimana kabar si rio~
            Mampus!
            Kenapa Gabriel nanya Rio disaat gue lagi sama sekali gak pengen bahas dia sih? Tadi gue berharap kalau Rio akan SMS gue tapi ternyata malah nama Gabriel yang muncul di layar ponsel. Sekarang ditengah gue lagi textingan dengan Gabriel malah dia nanya kabar Rio. Bukankah Rio memang baik-baik saja? Bukankah Gabriel tau persis bahwa Rio tidak sedang kenapa-napa sehingga tak ada hal yang perlu ditanyakan kepada gue terlebih dahulu? Kalau pun Rio sedang ada apa-apa, memangnya gue tau apa? Gue tau apa sampai-sampai Gabriel tanya ke gue? Memangnya gue orang yang tepat untuk ditanya hal tentang kabar Rio? Hah!
            Woy ndut! Ditanya kabar rio malah diem. Kagak bisa jawab apa emang kagak tau kabarnya soalnya orangnya lagi smsan sama org lain?
            Skakmat!
            Dasar Gabrieeeeeeeeeeeeeeeeeel!
*
AUTHOR POV
            Ify memasuki kelasnya dengan sedikit ogah-ogahan. Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah kiri pada bangkunya lalu matanya menerawang ke depan, ke arah papan tulis putih. Sedetik kemudian orang yang menduduki kursi sebelah kanan Ify menepuk bahu Ify dan sukses menyadarkannya dari lamunan–yang sebenarnya tidak bisa disebut lamunan juga sih.
            “Eh iya Yo apa, apa? Iya, mana?” cerocos Ify gelagapan sendiri.
            “Buset dah lo ngelamun apaan Fy?”
            Ify menghela nafas. Bersyukur teman sebangkunya ini tidak begitu memperhatikan cerocosnya baru saja.
            “Eh, gak. Lo ngapain disini?” tanya Ify seketika.
            “Ngapain? Ya sekolah lah Fy,”
            “Eh ya iya sih, maksud gue ngapain duduk disini?” tanya Ify lagi.
            “Fy..tempat duduk gue emang disini,”
            “Hah? Eh Cha, loh kok tumben udah dateng?”
            “Buset dah Ify lo lagi sedeng? Dari tadi lo ngomong ama siapa cobaaaa,” teriak Acha.
            “Eh iya iya hehe maap. Habis lo kesambet setan apa dateng sepagi ini?” balas Ify sambil nyengir.
            “Heheh, gue tau kalo Senen lo nemenin Sivia dateng pagi jadi gue mau ngintip pr lo dikit,” jawab Acha sambil membalas cengiran Ify balik.
            “Ngintip? Mana ada ngintip pr dikit? Yang ada lo belom ngerjain dan lo nyalin pr gue, dan itu nggak dikit,” respon Ify.
            “Halaaa Fy kan bahasa sopannya ngintip dikit gitu, gue gini-gini masih menjunjung tinggi kesopanan loh,” seru Acha lagi-lagi sambil nyengir.
            “Nih, gue kan baik,” balas Ify sambil menggeser buku tulis kimianya ke sebelah kanan.

            “Terimakasih Ify cantiiiiiiik yang banyak makan tapi badannya nggak gendut-gendut alias ceking mulu!” jawab Acha dan sukses membuahkan wajah bete di raut muka Ify.

No comments:

Post a Comment