Bukan aku atau kamu yang berubah, tetapi keadaan yang telah
berbeda.
Dulu kita sama. Sekarang tidak.
Dulu kita sejalan. Sekarang tak lagi.
Dulu kita bertatap. Sekarang kita bertolak.
Dulu kita berbagi. Sekarang kita alergi.
Dulu bahagia. Sekarang lara.
Seharusnya aku tak hanya bungkam. Seharusnya aku tak
berteman dengan diam. Seharusnya keadaan ini tak mencekam. Seharusnya kau tak
perlu memandang sosokku dengan tajam. Dan seharusnya kau tidak menikam.
Bukankah kau sendiri yang berkoar? Tapi kau juga yang
ingkar.
Bukankah kau sendiri yang memulai? Tapi kau juga yang
mengakhiri.
Kalau kau memiliki sejuta hal yang tidak bisa kau bagi
kepadaku, tidakkah aku juga melakukan hal yang sama?
Ya.
Kau masih kau yang dulu. Dan aku masih diriku. Lalu apa yang
salah?
Langkah kita berjauhan. Tawa kita mereda. Suka digantikan
oleh lara. Celoteh di pagi hari kini telah beralih menjadi lirikan tajam satu
sama lain. Bukankah kita dulu bersahabat? Lalu mengapa tatapanmu seakan
menghancurkan, merobohkan, melenyapkan segala rasa dan hasrat yang dahulu
selalu nyata. Terkadang mataku memerah saat menatapmu. Kau tau aku ingin
meraihmu kembali? Merindukan dirimu yang dulu. Oh ralat, kau masih kau yang
dulu. Keadaan yang tak seperti dulu. Aku merindukan keadaan.
Lalu aku harus menyalahkan siapa? Keadaan?
Ya, keadaan yang telah mengahasutmu.
“Santai aja bro,
persahabatan itu memang butuh asem manis. Butuh pahit sama pedes juga. Biar
rasanya pas, gak monoton. Show must go on kok,” –Kamu, 17 tahun, korban
hasutan.
Show must go on kok. Kata-kata
itu, tak pernah sedetik pun berhenti berrotasi di otakku. Pertunjukkan pasti
berlalu. Dan itu sekitar 4 tahun yang lalu. Sewaktu aku dan kamu masih sering
bolos upacara bendera bersama, mendekam di ruang BP berjam-jam, dan ngacir ke
kantin saat pelajaran pun mulai tertolak mentah-mentah dari otak kita.
4 tahun yang lalu.
Seharusnya pertujunkan itu sudah usai. Sudah terlalu lama.
Seharusnya aku dan kamu sudah tak lagi bersandiwara. Ya, meski memang bukan
sandiwara, tapi anggap saja begitu. Sejujurnya aku tak pernah menganggap
permasalahan diantara kita berupa fakta. Aku tak pernah menginginkannya. Itu
hanya sandiwara. The show.
Tapi benarkah kau juga mempunyai pikiran yang sama denganku?
Ku rasa tidak.
Beberapa hari yang lalu, kau menghampiriku. Datang di mimpi
ku. Kau membisikkannya, tepat di telingaku. Kau menjelaskannya, tepat di pusat
syaraf otakku. Kau menganalisanya, benar-benar membuatku tersadar.
Bahwa keadaan itu
nyata.
Dan bahwa kita tak pernah bersandiwara.
Antara aku atau kamu, benar-benar sudah tak lagi saling
menyapa.
Buat lo, yang terhasut keadaan
Dari gue, yang berharap fakta adalah sandiwara
No comments:
Post a Comment