Thursday, October 25, 2012

Keadaan


Bukan aku atau kamu yang berubah, tetapi keadaan yang telah berbeda.

Dulu kita sama. Sekarang tidak.
Dulu kita sejalan. Sekarang tak lagi.
Dulu kita bertatap. Sekarang kita bertolak.
Dulu kita berbagi. Sekarang kita alergi.
Dulu bahagia. Sekarang lara.

Seharusnya aku tak hanya bungkam. Seharusnya aku tak berteman dengan diam. Seharusnya keadaan ini tak mencekam. Seharusnya kau tak perlu memandang sosokku dengan tajam. Dan seharusnya kau tidak menikam.

Bukankah kau sendiri yang berkoar? Tapi kau juga yang ingkar.
Bukankah kau sendiri yang memulai? Tapi kau juga yang mengakhiri.

Kalau kau memiliki sejuta hal yang tidak bisa kau bagi kepadaku, tidakkah aku juga melakukan hal yang sama?


Ya.

Kau masih kau yang dulu. Dan aku masih diriku. Lalu apa yang salah?

Langkah kita berjauhan. Tawa kita mereda. Suka digantikan oleh lara. Celoteh di pagi hari kini telah beralih menjadi lirikan tajam satu sama lain. Bukankah kita dulu bersahabat? Lalu mengapa tatapanmu seakan menghancurkan, merobohkan, melenyapkan segala rasa dan hasrat yang dahulu selalu nyata. Terkadang mataku memerah saat menatapmu. Kau tau aku ingin meraihmu kembali? Merindukan dirimu yang dulu. Oh ralat, kau masih kau yang dulu. Keadaan yang tak seperti dulu. Aku merindukan keadaan.

Lalu aku harus menyalahkan siapa? Keadaan?

Ya, keadaan yang telah mengahasutmu.

“Santai aja bro, persahabatan itu memang butuh asem manis. Butuh pahit sama pedes juga. Biar rasanya pas, gak monoton. Show must go on kok,” –Kamu, 17 tahun, korban hasutan.

Show must go on kok. Kata-kata itu, tak pernah sedetik pun berhenti berrotasi di otakku. Pertunjukkan pasti berlalu. Dan itu sekitar 4 tahun yang lalu. Sewaktu aku dan kamu masih sering bolos upacara bendera bersama, mendekam di ruang BP berjam-jam, dan ngacir ke kantin saat pelajaran pun mulai tertolak mentah-mentah dari otak kita.

4 tahun yang lalu.

Seharusnya pertujunkan itu sudah usai. Sudah terlalu lama. Seharusnya aku dan kamu sudah tak lagi bersandiwara. Ya, meski memang bukan sandiwara, tapi anggap saja begitu. Sejujurnya aku tak pernah menganggap permasalahan diantara kita berupa fakta. Aku tak pernah menginginkannya. Itu hanya sandiwara. The show.

Tapi benarkah kau juga mempunyai pikiran yang sama denganku?
Ku rasa tidak.

Beberapa hari yang lalu, kau menghampiriku. Datang di mimpi ku. Kau membisikkannya, tepat di telingaku. Kau menjelaskannya, tepat di pusat syaraf otakku. Kau menganalisanya, benar-benar membuatku tersadar.

Bahwa  keadaan itu nyata.
Dan bahwa kita tak pernah bersandiwara.

Antara aku atau kamu, benar-benar sudah tak lagi saling menyapa.

Buat lo, yang terhasut keadaan
Dari gue, yang berharap fakta adalah sandiwara

No comments:

Post a Comment