“Aku ingin mati saja Key,”
Virgo. 17 tahun.
Akeyla mendengar kalimat itu terurai begitu saja dari
bibirnya. Ia tertawa, sambil menutup halaman novel yang sedang asik mencuri
perhatiannya.
“Ya udah mati aja sana,”
Dahi Virgo berkerut. Ia meletakkan polaroidnya kemudian
beralih menatap Akeyla, “Kok kamu setuju aku mati?”
Virgo terdiam. Akeyla beranjak dari tempatnya sambil
memungut polaroid putih yang tergeletak di rumput itu.
“Aku capek hidup Key,” suara Virgo yang parau, terdengar
sekali nada keputusasaan dari dalam dirinya. Akeyla mengerti. Sangat mengerti.
“Jantung kamu dari 17 tahun lalu nggak pernah capek
berdetak. Paru-paru kamu nggak pernah capek bernafas. Darah kamu nggak pernah
capek mengalir. Otak kamu nggak pernah capek berfikir. Kenapa kamu capek?”
Virgo tertawa. Suaranya makin parau. Ia melangkah maju,
menghampiri Akeyla yang sedang sibuk mencari objek fotonya.
“Mereka nggak pernah capek karena hidup mereka nggak punya
masalah Key. Sedangkan hidupku banyak masalah. Wajar dong kalo aku capek,”
Akeyla tersenyum kecut menanggapi, “Wajar sih, cuma aneh
aja. Kamu itu capek sama masalah atau capek sama hidup?”
“Dua-duanya. Masalah bikin aku capek. Jadinya males hidup,”
Akeyla melanjutkan langkah kakinya, menuju sebuah bangku
hijau panjang yang terletak di tepi rumput itu. Ia duduk, kemudian menyilakan
kakinya.
“Nggak nyambung dong. Hidup itu dijalani. Kalo masalah
dihadapi. Beda.”
Virgo terdiam. Sementara Akeyla masih enggan beralih dari
kesibukannya. Ia menatap laki-laki kurus dengan mata sedikit sipit itu dari
balik lensa kameranya. Tinggi, putih, sayangnya, hidungnya mancung ke dalam.
“Kalo punya masalah, jangan ditinggal lari. Nanti dia bakal ikut
lari juga ngejar kamu,”
“Karena itu aku ingin mati saja, biar nggak di kejar lagi,”
Akeyla tertawa lagi.
“Masalah tuh kayak rentenir. Semakin menghindar, semakin
dikejar. Memang kalo kamu sudah mati kamu yakin nggak bakal dikejar?
“Mana aku tau, aku kan belum pernah mati.” Virgo menjawab
dengan polos.
“Virgo, kalo kamu mati, yang antar jemput aku ke sekolah
tiap hari siapa?”
“Kan masih ada Mozart. Masih ada Gilang.”
“Nggak. Aku nggak mau sama Mozart, aku nggak suka naik
mobil.” Akeyla berdiri, memalingkan wajah kesalnya dari Virgo.
“Ya sama Gilang dong, dia kan naik motor,”
“Motor Gilang udah ditempati ceweknya,” Akeyla semakin
kesal, sebal, merengut.
“Ya udah jalan kaki aja,” terang Virgo sambil tertawa
meledek.
“Go, jangan lagi bicara soal kematian ya,”
“Kenapa? Mati itu udah kayak sahabatku Key,”
Akeyla mengerutkan dahi. Alis kirinya bertemu dengan alis
sebelah kanan. Heran saja, di tahun ini masih ada juga manusia yang bersahabat
dengan kematian. Dan itu sahabatnya sendiri.
“Kamu boleh sahabatan sama dia. Tapi nanti kalo kamu udah
mati. Kalo sekarang, sahabatan sama hidup aja. Dia baik kok,”
“Dari mana kamu tau kalo hidup itu baik? Dia nggak pernah
baik sama aku.”
“Kalo nggak ada dia, kamu nggak bisa ketemu aku.”
Jawaban singkat. Tanpa ekspresi, ataupun mimik wajah yang
sulit digambarkan. Akeyla mengutarakannya dengan sangat polos. Seakan kalimat
itu tak ada artinya. Seakan kata-kata itu tak memiliki makna tersendiri. Namun Virgo
terdiam. “Lo bener Key, kalo nggak ada
hidup, gue nggak bisa ketemu mahluk seindah lo,” batinnya.
No comments:
Post a Comment