Di sudut bibirnya terdapat bekas darah yang masih cukup
segar. Aku belum benar-benar bisa merasa puas meski telah meluncurkan beberapa
bogem mentah ke arah wajahnya. Ia hanya mengelap kecil bekas darah yang masih
menempel di sudut bibirnya itu. Namun ia masih tetap bisa berdiri. Jauh lebih
tegap dari posisiku yang sedang terkapar.
“Kemana mereka semua yang lo anggep saudara itu?”
Nafasku tak terkontrol. Sepatu kets hitamnya yang besar
menyapu kasar punggungku. Aliran darahku bertransportasi menjadi 3 kali lebih
cepat dari biasanya. Pipiku menempel pada ubin yang berdebu. Sementara aku
sudah tak mampu lagi mengangkat kepala. Ia dengan seenaknya semakin mengeraskan
injakannya dan semakin membuatku tertekan. Aku mengerang kecil, menahan sakit
akibat jahitan di perutku yang terluka bekas tertusuk belati kemarin sore.
Lega karena akhirnya ia telah beranjak dari posisinya. Kini
ia beralih sedikit menundukkan tubuhnya, menarik kerah seragamku dengan kasar,
kemudian memaksaku untuk menatap matanya. Bola mata hitamnya yang sedang
menatapku tajam. Tajam sekali seperti belati yang sedang ada dalam genggaman
tangannya
“Mana mereka semua? Ngilang? Pengecut! Bahkan disaat
kematian lo sudah ada di depan mata,”
Ia mengarahkan belatinya ke leherku. Aku sadar betul,
nyawaku sudah ada di ujung tanduk. Sebenarnya aku bisa saja mencegahnya, namun
aku tak lagi mampu bergerak. Membuka kelopak mataku saja rasanya pening sekali.
Menggerakkan mulutku juga aku sudah terlalu lemah. I am week. Too weak without my friends. Aku tak akan pernah bisa
menang tanpa mereka. Aku tak akan mampu bertahan tanpa mereka.
“Sa..habat gue, pas..ti da..teng,”
Aku mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa. Mencoba
membalas ucapannya dan membuatnya semakin murka.
“Lo pikir yang namanya sahabat itu ada? Ha? Lo pikir sahabat
itu bakal setia sampe mati? Omong kosong!”
Aku menatap diriku sendiri dengan nanar. Menanti
detik-detik. Pikiranku menerawang. 4 tahun yang lalu, bercanda dan tertawa
lepas bersama ayah. Menghisap tembakau bersama-sama, berbincang layaknya dua
kawan karib.
“Kamu pikir yang
namanya sahabat itu ada? Kamu pikir akan ada sahabat yang terus-terusan setia
sampe maut datang? Percaya sama ayah, jangan pernah percaya sama sahabat.
Mereka semua itu cuma orang-orang asing yang kebetulan masuk ke kehidupan kamu
boy. Teman adalah musuh yang belum saatnya menyerang,”
Tubuhku semakin lemas. Benarkah?
Aku dapat merasakan sentuhan dingin dari ujung belati yang
menempel pada leherku. Sesingkat inikah hidupku? Lalu, kemana para sahabatku?
Benarkah istilah sahabat itu tak pernah ada?
BRAK!!
Suara pintu ditendang.
DOR!!
Terdengar bunyi tembakan yang sangat keras meledak di
telingaku. Mataku masih terpejam. Rasa dingin tadi kemana perginya? Terdengar
bunyi logam jatuh yang bersentuhan secara kasar dengan ubin. Apa aku sudah di
akhirat? Apakah ini di neraka?
Darah mengucur dari lututnya. Belati itu tergeletak pada
ubin. Tuhan, aku masih bernafas. Jantungku masih berdetak. Beberapa polisi segera
meringkusnya dan memborgol kedua tangannya. Kemudian polisi-polisi itu segera
mengamankan belati yang hampir saja merobek leherku. Ia diseret paksa karena
peluru yang sengaja ditembakkan ke arah lututnya.
“Di depan ada 4 orang dengan seragam yang sama sepertimu.
Apa mereka teman-temanmu dik?”
Bayu. Asep. Dharma. Rigel.
Aku mengangguk tak berdaya sambil mengucap syukur dalam
hati. Mereka akhirnya datang.
“Tapi maaf dik, mereka berempat kami temukan sudah dalam
keadaan tidak bernyawa. Ada bekas tusukan di dada sebelah kiri mereka. Saya
turut menyesal dik,”
Seketika kaki ku lumpuh.
Mereka datang menyelamatkanku. Mereka datang untukku. Mereka
memang sahabat-sahabatku. Sahabat itu ada. Mereka ada! Mereka mengorbankan
nyawanya demi aku? Mereka mati karena hendak menyelamatkanku? Bahkan mereka
sangat setia terhadapku, justru aku yang tak ada saat maut datang menghampiri
mereka.
Sungguh. Hidup ini tak adil bagi mereka.
Buat mereka yang tertembus belati di dada sebelah kiri
Dari gue yang belum sempat tergores belati
No comments:
Post a Comment