Sunday, October 7, 2012

Mereka

“Kemana mereka semua yang lo sebut teman?”

Di sudut bibirnya terdapat bekas darah yang masih cukup segar. Aku belum benar-benar bisa merasa puas meski telah meluncurkan beberapa bogem mentah ke arah wajahnya. Ia hanya mengelap kecil bekas darah yang masih menempel di sudut bibirnya itu. Namun ia masih tetap bisa berdiri. Jauh lebih tegap dari posisiku yang sedang terkapar.

“Kemana mereka semua yang lo anggep saudara itu?”

Nafasku tak terkontrol. Sepatu kets hitamnya yang besar menyapu kasar punggungku. Aliran darahku bertransportasi menjadi 3 kali lebih cepat dari biasanya. Pipiku menempel pada ubin yang berdebu. Sementara aku sudah tak mampu lagi mengangkat kepala. Ia dengan seenaknya semakin mengeraskan injakannya dan semakin membuatku tertekan. Aku mengerang kecil, menahan sakit akibat jahitan di perutku yang terluka bekas tertusuk belati kemarin sore.

“Kenapa diem? Gak bisa jawab?”

Lega karena akhirnya ia telah beranjak dari posisinya. Kini ia beralih sedikit menundukkan tubuhnya, menarik kerah seragamku dengan kasar, kemudian memaksaku untuk menatap matanya. Bola mata hitamnya yang sedang menatapku tajam. Tajam sekali seperti belati yang sedang ada dalam genggaman tangannya

“Mana mereka semua? Ngilang? Pengecut! Bahkan disaat kematian lo sudah ada di depan mata,”

Ia mengarahkan belatinya ke leherku. Aku sadar betul, nyawaku sudah ada di ujung tanduk. Sebenarnya aku bisa saja mencegahnya, namun aku tak lagi mampu bergerak. Membuka kelopak mataku saja rasanya pening sekali. Menggerakkan mulutku juga aku sudah terlalu lemah. I am week. Too weak without my friends. Aku tak akan pernah bisa menang tanpa mereka. Aku tak akan mampu bertahan tanpa mereka.

“Sa..habat gue, pas..ti da..teng,”

Aku mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa. Mencoba membalas ucapannya dan membuatnya semakin murka.

“Lo pikir yang namanya sahabat itu ada? Ha? Lo pikir sahabat itu bakal setia sampe mati? Omong kosong!”

Aku menatap diriku sendiri dengan nanar. Menanti detik-detik. Pikiranku menerawang. 4 tahun yang lalu, bercanda dan tertawa lepas bersama ayah. Menghisap tembakau bersama-sama, berbincang layaknya dua kawan karib.

“Kamu pikir yang namanya sahabat itu ada? Kamu pikir akan ada sahabat yang terus-terusan setia sampe maut datang? Percaya sama ayah, jangan pernah percaya sama sahabat. Mereka semua itu cuma orang-orang asing yang kebetulan masuk ke kehidupan kamu boy. Teman adalah musuh yang belum saatnya menyerang,”

Tubuhku semakin lemas. Benarkah?

Aku dapat merasakan sentuhan dingin dari ujung belati yang menempel pada leherku. Sesingkat inikah hidupku? Lalu, kemana para sahabatku? Benarkah istilah sahabat itu tak pernah ada?

BRAK!!

Suara pintu ditendang.

DOR!!

Terdengar bunyi tembakan yang sangat keras meledak di telingaku. Mataku masih terpejam. Rasa dingin tadi kemana perginya? Terdengar bunyi logam jatuh yang bersentuhan secara kasar dengan ubin. Apa aku sudah di akhirat? Apakah ini di neraka?

Darah mengucur dari lututnya. Belati itu tergeletak pada ubin. Tuhan, aku masih bernafas. Jantungku masih berdetak. Beberapa polisi segera meringkusnya dan memborgol kedua tangannya. Kemudian polisi-polisi itu segera mengamankan belati yang hampir saja merobek leherku. Ia diseret paksa karena peluru yang sengaja ditembakkan ke arah lututnya.

“Di depan ada 4 orang dengan seragam yang sama sepertimu. Apa mereka teman-temanmu dik?”

Bayu. Asep. Dharma. Rigel.

Aku mengangguk tak berdaya sambil mengucap syukur dalam hati. Mereka akhirnya datang.

“Tapi maaf dik, mereka berempat kami temukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ada bekas tusukan di dada sebelah kiri mereka. Saya turut menyesal dik,”

Seketika kaki ku lumpuh.

Mereka datang menyelamatkanku. Mereka datang untukku. Mereka memang sahabat-sahabatku. Sahabat itu ada. Mereka ada! Mereka mengorbankan nyawanya demi aku? Mereka mati karena hendak menyelamatkanku? Bahkan mereka sangat setia terhadapku, justru aku yang tak ada saat maut datang menghampiri mereka.

Sungguh. Hidup ini tak adil bagi mereka.

Buat mereka yang tertembus belati di dada sebelah kiri
Dari gue yang belum sempat tergores belati

No comments:

Post a Comment