Monday, October 1, 2012

Aris-Arin-Aren (end)


want to know the previous story?

Pendingin ruangan ini semakin membuat kulitku terasa dingin. Potongan-potongan kejadian demi kejadian yang baru saja terputar jelas dalam file otakku dapat dengan mudah menghancurkan pertahananku. Awalnya hanya sebutir yang mengalir dari sudut mataku. Semakin lama merenung, menyesali perbuatan keadaan, mencoba menerima fakta yang ada, mencoba menjalani hidup yang baru, tanpa sosok Arin..

Andai aku tak pernah melihat Aren menggenggam manis telapak tangan Arin. Andai aku tak pernah menyayangi Arin lebih dari sahabat terbaikku. Andai Arin maupun Aren tak pernah saling mencinta. Andai tak pernah ada persaingan. Andai aku tak pernah dikhianati. Andai sabtu sore itu aku lebih baik berada di rumah saja. Andai malapetaka itu tak pernah terjadi..

Kini otakku kembali memutar video-video semasa kami kelas satu. Kejamnya masa orientasi yang berlanjut pada perkenalan. Saling mengenal kemudian menciptakan hubungan pertemanan. Semakin dekat hingga melekat menjadi sahabat.

Bayangan Aren yang tengah frustasi berulang kali gagal menshoot bola ke arah ring di tengah guyuran hujan yang lebat. Saat kemudian aku datang merebut bola dan dengan telaten mempraktikkan tehnik demi tehnik, menciptakan senyuman di wajah Aren. Lalu Arin datang sambil melompat-lompat dalam genangan air hujan, jail menciprati seragamku dan Aren yang sudah berubah warna.

Indahnya dahulu.

Aku kembali menatap manik hitam pekat di mata Aren. Menerawang jauh sebelum malapetaka itu terjadi. Dahulu terasa begitu indah. Dua tahun berbagi kasih dan cerita bersama, sirna sudah karena akal kami yang sudah tidak waras dan merusak semua yang telah terjalin selama ini. Aku kembali menjatuhkan air mata. Menyesali segala yang pernah terjadi. Berharap semuanya kembali. Berharap aku terbangun dari mimpi. Ya, mimpi burukku yang tak ada hentinya menjelma menjadi momok di setiap malamku.

“Saya pelakunya pak,”

Kalimat itu keluar dari mulut Aren secara jelas dan spontan. Aku melongo, tak menduga atas apa yang baru saja ia katakan.

“Tidak pak, bukan dia. Tapi saya, saya yang menabraknya,”

Entah dorongan dari mana yang berpotensi memaksaku mengeluarkan kata-kata itu. Namun Aren dengan sigap membalas ucapanku.

“Bapak silahkan tangkap saya. Bebaskan dia pak, dia tidak bersalah. Saya pelakunya, bukan dia,”

Aku beranjak dari tempatku, menghampiri Aren dan menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Bola matanya sudah berair, berkaca-kaca.

“Tidak pak, motor saya yang menabrak Arin, saya yang bersalah, bukan Aren,”
“Tidak pak…”
“Cukup! Tadi kalian saling tuduh siapa pelakunya. Sekarang kalian berebut menjadi pelaku yang bersalah. Kalian ingin mempermainkan saya?”

Tanpa menggubris lagi perkataan polisi itu, aku merangkul bahu Aren dengan sangat kencang dan melepaskan semua luka yang tertahan selama ini. Aren membalas pelukanku kemudian menangis hebat dan menumpahkan semuanya. Kami tau, hal ini terlalu melankolis dan tidak sepantasnya terjadi diantara dua cowok macho yang mengaku laki-laki bukan banci. Tapi tangisan kami ini untuk Arin, sebagai penyesalan, sebagai permohonan maaf yang tak terucap.

“Gue yang salah sob, maafin gue,”
“Maafin gue juga Ren. Gue memang sayang Arin, tapi gue jauh lebih sayang persahabatan kita,”
“Tetep ajarin gue main basket ya Ris,”
“Tetep contekin gue fisika ya Ren,”

Aku tersenyum. Aren tersenyum. Kami tersenyum. Dan Arin pun juga tersenyum menyaksikan senyuman kami.
*

No comments:

Post a Comment