want to know the previous story?
Pendingin ruangan ini semakin membuat kulitku terasa dingin.
Potongan-potongan kejadian demi kejadian yang baru saja terputar jelas dalam file otakku dapat dengan mudah
menghancurkan pertahananku. Awalnya hanya sebutir yang mengalir dari sudut
mataku. Semakin lama merenung, menyesali perbuatan keadaan, mencoba menerima
fakta yang ada, mencoba menjalani hidup yang baru, tanpa sosok Arin..
Andai aku tak pernah melihat Aren menggenggam manis telapak
tangan Arin. Andai aku tak pernah menyayangi Arin lebih dari sahabat terbaikku.
Andai Arin maupun Aren tak pernah saling mencinta. Andai tak pernah ada
persaingan. Andai aku tak pernah dikhianati. Andai sabtu sore itu aku lebih
baik berada di rumah saja. Andai malapetaka itu tak pernah terjadi..
Kini otakku kembali memutar video-video semasa kami kelas
satu. Kejamnya masa orientasi yang berlanjut pada perkenalan. Saling mengenal
kemudian menciptakan hubungan pertemanan. Semakin dekat hingga melekat menjadi
sahabat.
Bayangan Aren yang tengah frustasi berulang kali gagal menshoot bola ke arah ring di tengah
guyuran hujan yang lebat. Saat kemudian aku datang merebut bola dan dengan
telaten mempraktikkan tehnik demi tehnik, menciptakan senyuman di wajah Aren. Lalu
Arin datang sambil melompat-lompat dalam genangan air hujan, jail menciprati
seragamku dan Aren yang sudah berubah warna.
Indahnya dahulu.
Aku kembali menatap manik hitam pekat di mata Aren. Menerawang
jauh sebelum malapetaka itu terjadi. Dahulu terasa begitu indah. Dua tahun
berbagi kasih dan cerita bersama, sirna sudah karena akal kami yang sudah tidak
waras dan merusak semua yang telah terjalin selama ini. Aku kembali menjatuhkan
air mata. Menyesali segala yang pernah terjadi. Berharap semuanya kembali. Berharap
aku terbangun dari mimpi. Ya, mimpi burukku yang tak ada hentinya menjelma
menjadi momok di setiap malamku.
“Saya pelakunya pak,”
Kalimat itu keluar dari mulut Aren secara jelas dan spontan.
Aku melongo, tak menduga atas apa yang baru saja ia katakan.
“Tidak pak, bukan dia. Tapi saya, saya yang menabraknya,”
Entah dorongan dari mana yang berpotensi memaksaku
mengeluarkan kata-kata itu. Namun Aren dengan sigap membalas ucapanku.
“Bapak silahkan tangkap saya. Bebaskan dia pak, dia tidak
bersalah. Saya pelakunya, bukan dia,”
Aku beranjak dari tempatku, menghampiri Aren dan menatapnya
dengan tatapan penuh tanya. Bola matanya sudah berair, berkaca-kaca.
“Tidak pak, motor saya yang menabrak Arin, saya yang
bersalah, bukan Aren,”
“Tidak pak…”
“Cukup! Tadi kalian saling tuduh siapa pelakunya. Sekarang kalian
berebut menjadi pelaku yang bersalah. Kalian ingin mempermainkan saya?”
Tanpa menggubris lagi perkataan polisi itu, aku merangkul
bahu Aren dengan sangat kencang dan melepaskan semua luka yang tertahan selama
ini. Aren membalas pelukanku kemudian menangis hebat dan menumpahkan semuanya. Kami
tau, hal ini terlalu melankolis dan tidak sepantasnya terjadi diantara dua
cowok macho yang mengaku laki-laki bukan banci. Tapi tangisan kami ini untuk
Arin, sebagai penyesalan, sebagai permohonan maaf yang tak terucap.
“Gue yang salah sob, maafin gue,”
“Maafin gue juga Ren. Gue memang sayang Arin, tapi gue jauh
lebih sayang persahabatan kita,”
“Tetep ajarin gue main basket ya Ris,”
“Tetep contekin gue fisika ya Ren,”
Aku tersenyum. Aren tersenyum. Kami tersenyum. Dan Arin pun
juga tersenyum menyaksikan senyuman kami.
*
No comments:
Post a Comment