Gue belum bisa paham teori apa yang mereka terapkan agar
bisa dengan mudah mencintai gue dan butuh waktu bertahun-tahun untuk ngelupain
gue. Meski pada akhirnya sampai sekarang pun 80 % diantara mereka belum juga
bisa berpaling dari gue. Apa gue terlalu indah di mata mereka? Apa gue terlalu
berharga dalam hidup mereka? Apa gue yang terlihat paling berwarna dintara
semua cowok sekolah ini? Apakah dalam pandangan mereka semua cowok itu cuma
hitam putih, abu-abu, sedangkan gue seorang yang paling bisa bercahaya dan
memantulkan sinar gue ke seantero sudut sekolah? Apa begitu? Apa tidak terkesan
‘berlebihan’?
Terlalu banyak pertanyaaan-pertanyaan konyol dari gue yang
mungkin tak akan pernah bisa mereka utarakan dengan jawaban yang paling tepat. Seharusnya
pertanyaan itu tak akan pernah berlalu-lalang dalam pikiran gue kalau saja lo tidak
berbuat senekat dan segila itu. Lo, salah satu diantara para ladies di luar sana yang benar-benar tak
punya malu. Waktu lo nembak gue di tengah lapangan dengan speaker sekolahan
yang suaranya aduhai menggelegar, tau apa yang gue pikirin saat itu? Dia. Ya,
gue mikirin dia. Gue sama sekali bukan mikirin perasaan lo, tapi dia. Satu-satunya
sosok yang paling indah di mata gue. Gue sangat-sangat menjaga perasaan dia,
gue masa bodoh dengan cewek-cewek semacam lo yang ngarep banget bisa gue
perlakuin seperti halnya gue merlakuin dia. No!
Well, gue tau gue terlalu jahat sebagai cowok. Gue bukan
melindungi lo dan menghargai usaha lo, namun gue dengan santainya menarik dan
menggenggam lembut telapak tangan dia lalu melintas di hadapan lo. Sebenarnya,
gue sama sekali bukan ingin jail ataupun bikin lo nangis, namun gue jauh lebih
sayang dia daripada lo. Gue lebih baik kehilangan satu anggota fans gue
daripada gue harus kehilangan dia. Dan akhirnya, saat itu juga, gue bersiap
akan segala hal yang akan menimpa gue setelah kejadian ‘hot’ di hadapan lo
waktu itu. Mungkin umpatan kecil, atau mungkin cacian kasar, atau bahkan air
mata lo, dan sejumlah hal lainnya yang selalu mereka lakukan sehabis nembak
gue.
Namun nihil.
Lo cuma tersenyum sambil berkata, “Dari dulu gue tau kalo lo
sayang sama dia, awalnya gue nggak percaya kalo lo nggak bisa sayang sama gue
setelah semua apa yang telah gue lakukan buat lo. Tapi gue salah besar. Di hati
lo cuma ada dia, dan nggak akan bisa tergantikan oleh gue atau siapapun itu. Great.
Lo hebat.”
Gue hampir lumpuh sewaktu lo mengutarakan kalimat itu dengan
lancar dan tanpa jeda sedikit pun di hadapan gue. Apa benar gue setega itu? Apa
benar gue sekejam itu? Apa benar gue sesadis itu? Kalau memang benar seperti
itu, seharusnya mereka sudah tau hal itu sejak dulu. Namun bukannya malah mebenci,
mereka justru menggilai gue. Apa gue pantas untuk dikagumi?
Gue pikir saat itu adalah terakhir kalinya gue bikin lo
remuk, hancur, sakit hati. Namun gue mengulainginya lagi. Entah setan dari mana
yang memaksa gue terpaksa harus mengorbankan perasaan lo. Lagi dan lagi. Dan mengapa
Tuhan begitu sangat tidak adilnya memposisikan diri lo di tempat itu dan di
waktu itu.
Gue mencoba tetap acuh tak acuh terhadap apa yang saat ini
sedang merasuki otak gue. Ada berapa banyak resto di kota ini? Sesedikit itu
kah? Sampai-sampai lo harus kebetulan berada di resto yang sama dengan gue, dan
juga dengan dia. Gue yakin betul mata lo pasti nggak buram, nggak buta,
penglihatan lo masih sehat, pandangan lo masih jelas. Waktu gue sama dia
beradegan romantis di resto yang juga romantis ini, mengapa lo nggak beranjak
dari situ? Mengapa lo nggak berdiri dari tempat duduk lo, lari ke kamar kecil
sambil menutup mulut lalu menangis hebat disana. Mengapa bukan hal itu yang lo
lakukan?
Untuk yang kesekian kalinya lo cuma duduk diam sambil menatap
gue teduh dengan tatapan hangat penuh kasih. Kemudian lo tersenyum.
Nafsu makan gue sudah lenyap. Bahkan gue sudah tidak lagi
suap-suapan nasi dengan dia. Kenapa sih lo nggak pernah lelah meski luka dan
perih yang bertubi-tubi lo rasakan dan itu semua gara-gara gue? Kenapa sih lo
nggak pernah mikirin perasaan lo sendiri dan malah terus-terusan menomorsatukan
gue?
Sebenarnya, teori serumit apakah yang lo terapkan untuk bisa
mencintai gue dan tak pernah sedetik pun beristirahat untuk sejenak melupakan
gue? Sebenarnya, ini karena hati gue yang sekeras batu apa memang elo yang
nggak punya hati? Sehingga nggak bisa lagi merasakan yang namanya sakit.
Entahlah.
Gue nggak pernah ngerti jalan pikiran lo. Yang jelas, saat
ini, pertama kalinya gue melihat mata lo dengan jelas. Mencari kesungguhan lo
disana, dan, gue benar-benar temukan itu.
No comments:
Post a Comment