Resto Holy, 11 Oktober 2009.
Diantara kami bertiga, hanya Anna yang mampu mencairkan
suasana kembali. Aku masih menatap Bella dengan pandangan kabur, buram. Mataku
memanas, tidak sepantasnya aku masih berada disini bersama mereka. Tidak
sepantasnya aku masih bisa menyantap kentang favoritku dengan lahap sementara
aku yakin betul jauh di balik mata Bella yang selalu berbinar ternyata
menyimpan luka. Satu jam yang lalu, resto ini padat pengunjung, kami masih
tertawa, kami masih bersenda gurau dan berbagi candaan satu sama lain. Tertawa
bersama, melahap sajian bersama, mengacau bersama. Hingga pada akhirnya
perasaan yang selama ini terus mengusikku dan datang di setiap tidurku, mimpi
buruk itu memaksa otakku untuk berkerja lebih ekstra.
Hanya tersisa kami bertiga di resto ini. Sementara mbak-mbak
dan mas-mas yang ada di ujung kasir terus menengok ke arah kami karena
keheningan itu. Semuanya nampak berbalik 180 derajat setelah aku mengatakan hal
itu. Anna dan Bella masih tertawa, namun aku telah melakukan suatu kesalahan
besar yang membuat Bella harus tersenyum palsu dibalik tawanya. Kini, hanya ada
gurauan Anna yang mencoba mengembalikan suasana. Aku tau benar Bella menahan
air matanya. Sementara aku, sudah kubiarkan air mataku jatuh.
Aku sadar sepenuhnya bahwa perasaan Bella dari dulu tak
pernah berganti. Meski ia telah mengatakan seribu kali kalau hatinya telah move on, matanya tak pernah mampu
membohongiku. Bella masih menyayangi dia.
Apapun yang menyangkut tentang dia,
raut muka Bella selalu berubah. Ada tangis yang tertahan disana. Aku tau betul.
Skakmat! Aku tak perlu kesulitan merangkai kata-kata lagi
untuk mengungkapkan semuanya. Rasanya sakit, menyesal, merasa bersalah, jahat,
sedih, sepertinya Bella sangat peka sekali terhadap apa yang ada dalam otakku.
Aku hanya bisa membeku. Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua? Berkhianat dibelakang
temanku sendiri? Bagaimana mungkin aku tega melakukannya? Bagaimana mungkin aku
menyayangi orang yang selama ini selalu hadir di mimpi Bella? Bagaimana
mungkin?
Anna kembali mengacau, tawanya meledak, mencairkan suasana.
Biasanya Bella selalu nimbrung. Namun kali ini tidak, sampai pada akhirnya
butiran bening itu mulai nampak di bola matanya. Bella masih berusaha mengambil
nafas, kemudian menghembuskannya secara perlahan, menahan segala rasa yang
mampu menghancurkan pertahanannya. Tapi ia tidak berhasil. Untuk yang pertama
kalinya aku melihat ia meneteskan air matanya. Untuk pertama kalinya aku
melihat dia sehancur ini. Jangankan untuk menangis, Bella bahkan tak pernah
bisa meneteskan air matanya untuk dia.
Meski telah merasa luka dan perih berkali-kali, air matanya tak pernah bisa
keluar. Kali ini pertama kalinya ia menangis karena dia. Ini saat pertama ia bisa mengeluarkan air matanya karena dia. Sebelumnya, Bella hanya mampu
menyimpan tangisnya di dalam. Meski ia telah berusaha, entahlah air matanya itu
seperti tak mau menuruti perintahnya. Lebih sakit rasanya menangis di dalam,
saking terlalu nyesek. Namun kali ini Bella benar-benar menangis. Meski aku
masih melihat ia tetap berusaha menyeka air matanya itu.
“Maafin aku Bel, nangis yang puas di depanku Bel, kamu boleh
marah sama aku, tapi jangan pernah benci sama aku ya, aku lebih sayang kamu
daripada dia,”
Tangisku semakin deras. Bella tetap tertawa meski jauh dari
bola matanya menerawang luka. Luka yang sangat dalam. Bella tetap bercanda
meski candaannya terkesan garing karena suasana yang telah berubah drastis ini.
Aku menyesal sendiri, merutuki pengakuanku. Namun aku sadar, cepat atau lambat,
aku tak bisa terus-terusan berdusta. Sebelum aku benar-benar menyayanginya dan sebelum kami sudah ada pada
tahap HTS, lebih baik aku menangis sekarang sambil memohon maaf memeluk Bella,
daripada aku harus menyesal seumur hidup dan tidak dibukakan pintu maaf oleh
Bella. Yah, walaupun aku yakin Bella tak mungkin sekejam dan sejahat itu
kepadaku.
Bicara tentang sahabat itu tidak bisa diungkapkan hanya oleh
satu atau dua kalimat. Apalagi menceritakan tentang sahabat-sahabatku, terutama
Bella. Sampai karakter teks ini sudah mencapai batas maksimum pun juga tak akan
pernah usai. Sampai lebaran monyet pun juga tak akan kelar. Sahabat itu hanya
bisa kita rasakan, kita hargai, kita jaga selama-selamanya. Meski telah merasa
luka dan perih, sahabat paling-paling hanya tersenyum sambil berkata, “Aku tidak apa-apa,”. Kalau aku boleh
bilang, sahabat itu sekelompok orang gila yang juga telah membuat hidupku gila.
Namun justru kegilaan mereka lah yang selalu mewarnai buku gambarku, mengisi
buku harian sekolahku. Sungguh, hal sebodoh apapun akan ku lakukan jika
bersamamu teman.
Untuk Bella yang selalu tersenyum
Dariku yang tersenyum melihat senyumnya
*
No comments:
Post a Comment