Wednesday, October 31, 2012

Deretan Bualan


Cinta itu hanya omong kosong.
Cinta itu cuma bualan orang iseng.

Saya pernah berfikir jatuh cinta. Indah. Duduk berdua bersama kamu sudah memberi kebahagiaan tersendiri untuk saya. Namun, saya rasa bukan itu jatuh cinta. Bukan tentang kebahagiaan. Tapi tentang lara yang berujung bahagia.

Ya, lara yang berujung bahagia.

Sudah berapa lama saya berjuang dari sepanjang lara hanya demi merasakan setitik bahagia? Sudah sangat lama. Tapi bahagia itu tak kunjung hadir. Cinta itu tak datang.

Saya pernah berfikir mungkin saya belum cukup umur untuk merasakan cinta. Belum cukup siap untuk merasakan pahitnya. Dan belum cukup setia untuk merasakan indahnya. Tapi bukankah cinta tak mengenal itu semua?

Saturday, October 27, 2012

Psycho


2011.

Hujan pertama di bulan Desember. Aku menepi ke sisi lapangan, menyadari semakin derasnya guyuran hujan. Rok seragamku sudah basah, namun biarlah.

Sret.

Aku terpeleset, mungkin karena ubin koridor sekolahku yang sengaja di desain licin sekali. Ah ini memalukan, terpeleset di..

“Jangan hujan-hujanan disitu,”

Tunggu!

Satu Tahun yang Lalu


Gefinraldy Aryasa Samudero.

Hai, apa kabar?
Baik.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?
Yang itu, saat aku pertama kali mengenalmu, oh ralat, bukan mengenalmu, hanya mengenal namamu. Nama yang aneh. Ya, dan aku berani menjamin hanya ada satu nama seperti itu di dunia.

Masih ingat tidak satu tahun yang lalu?
Yang mana?

Thursday, October 25, 2012

Anak SMA

Tau apa tentang cinta?
Tau apa tentang sayang?
Tau apa arti rasa yang mendalam?

Omong kosong.

Siswa SMA itu masih anak-anak. Labil. Penuh emosi. Tau apa soal perasaan?

Perasaan yang satu menit menyala, satu menit kemudian sirna. Perasaan yang sebentar bahagia, sebentar lagi luka. Perasaan yang penuh euforia, namun juga penuh dengan lara. Perasaan yang saling berbagi, kemudian saling alergi. Perasaan yang amat dalam, tapi ternyata kelam.

Itu yang disebut cinta?

Berharap akan sesuatu yang indah, namun ternyata tak berbuah. Berharap akan kesempurnaan, namun yang hadir kemurkaan. Berharap kepastian yang tak kunjung menuai hasil. Berharap kerinduan yang tumbuh, namun ternyata rapuh.

Segala pengharapan butuh kesabaran.
Tapi tahukah, bahwa terlalu lama bersabar nantinya juga akan pudar?

Keadaan


Bukan aku atau kamu yang berubah, tetapi keadaan yang telah berbeda.

Dulu kita sama. Sekarang tidak.
Dulu kita sejalan. Sekarang tak lagi.
Dulu kita bertatap. Sekarang kita bertolak.
Dulu kita berbagi. Sekarang kita alergi.
Dulu bahagia. Sekarang lara.

Seharusnya aku tak hanya bungkam. Seharusnya aku tak berteman dengan diam. Seharusnya keadaan ini tak mencekam. Seharusnya kau tak perlu memandang sosokku dengan tajam. Dan seharusnya kau tidak menikam.

Bukankah kau sendiri yang berkoar? Tapi kau juga yang ingkar.
Bukankah kau sendiri yang memulai? Tapi kau juga yang mengakhiri.

Kalau kau memiliki sejuta hal yang tidak bisa kau bagi kepadaku, tidakkah aku juga melakukan hal yang sama?

Sunday, October 7, 2012

Mereka

“Kemana mereka semua yang lo sebut teman?”

Di sudut bibirnya terdapat bekas darah yang masih cukup segar. Aku belum benar-benar bisa merasa puas meski telah meluncurkan beberapa bogem mentah ke arah wajahnya. Ia hanya mengelap kecil bekas darah yang masih menempel di sudut bibirnya itu. Namun ia masih tetap bisa berdiri. Jauh lebih tegap dari posisiku yang sedang terkapar.

“Kemana mereka semua yang lo anggep saudara itu?”

Nafasku tak terkontrol. Sepatu kets hitamnya yang besar menyapu kasar punggungku. Aliran darahku bertransportasi menjadi 3 kali lebih cepat dari biasanya. Pipiku menempel pada ubin yang berdebu. Sementara aku sudah tak mampu lagi mengangkat kepala. Ia dengan seenaknya semakin mengeraskan injakannya dan semakin membuatku tertekan. Aku mengerang kecil, menahan sakit akibat jahitan di perutku yang terluka bekas tertusuk belati kemarin sore.

“Kenapa diem? Gak bisa jawab?”

Monday, October 1, 2012

Aris-Arin-Aren (end)


want to know the previous story?

Pendingin ruangan ini semakin membuat kulitku terasa dingin. Potongan-potongan kejadian demi kejadian yang baru saja terputar jelas dalam file otakku dapat dengan mudah menghancurkan pertahananku. Awalnya hanya sebutir yang mengalir dari sudut mataku. Semakin lama merenung, menyesali perbuatan keadaan, mencoba menerima fakta yang ada, mencoba menjalani hidup yang baru, tanpa sosok Arin..

Andai aku tak pernah melihat Aren menggenggam manis telapak tangan Arin. Andai aku tak pernah menyayangi Arin lebih dari sahabat terbaikku. Andai Arin maupun Aren tak pernah saling mencinta. Andai tak pernah ada persaingan. Andai aku tak pernah dikhianati. Andai sabtu sore itu aku lebih baik berada di rumah saja. Andai malapetaka itu tak pernah terjadi..

Kini otakku kembali memutar video-video semasa kami kelas satu. Kejamnya masa orientasi yang berlanjut pada perkenalan. Saling mengenal kemudian menciptakan hubungan pertemanan. Semakin dekat hingga melekat menjadi sahabat.

Bayangan Aren yang tengah frustasi berulang kali gagal menshoot bola ke arah ring di tengah guyuran hujan yang lebat. Saat kemudian aku datang merebut bola dan dengan telaten mempraktikkan tehnik demi tehnik, menciptakan senyuman di wajah Aren. Lalu Arin datang sambil melompat-lompat dalam genangan air hujan, jail menciprati seragamku dan Aren yang sudah berubah warna.

Aris-Arin-Aren (2)


want to know the previous story?

Arin mencoba menghentikan langkahku. Mendorong bahuku untuk mundur. Aku hampir saja meluncurkan tamparanku kalau saja aku tidak bisa mengontrol tindakan ku yang sudah kesetanan. Aku melepaskan cengkramannya kemudian melanjutkan langkahku tanpa sedetik pun menolehkan kepalaku ke arah Arin yang telah jatuh tersungkur.

“Kalian bisa bicarain ini baik-baik, tanpa balapan! Ris stop Ris!”

Telingaku semakin memanas. Bahkan kalimat Arin yang semakin lama semakin tak terdengar olehku sama sekali tak membuatku mengurungkan niatku. Aku meneruskan langkahku menuju parkiran belakang sekolah. Menstarter motor dan melaju dengan kecepatan jauh diatas normal. Berbagai macam kejadian belakangan ini tak henti-hentinya berputar dalam otakku seiring dengan kepalan tanganku yang semakin memacu gas lebih kencang lagi.
*

“Aren! Aris! Stop! Plis gue mohon jangan lakuin ini! Kita bisa bicarain ini baik-baik,”

Aris-Arin-Aren (1)


Dia hanya menunduk saja, memejamkan kedua matanya, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bungkam. Mungkin menangis dalam diam, tanpa suara. Aku masih menatapnya dengan sekujur tubuhku yang bermandikan peluh. Aku hanya bisa memandangnya, melihatnya dari jauh, menerawang hati dan pikirannya. Tanpa suatu hal lain yang bisa aku lakukan.

Ia tak kunjung buka suara. Sudah sejak satu jam yang lalu ia tetap berdiri dalam posisi seperti itu. Tanpa sedetik pun menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya terdengar detakan demi detakan jantung yang terus memacu. Hanya samar-samar bunyi nafas tak teratur yang membuat dada bidangnya kembang kempis. Dan aku masih menatapnya. Hanya tatapan tanpa reaksi.

Dua jam berlalu. Keheningan masih menyelimuti. Dinding dengan cat hijau muda di ruangan ini menjadi saksi kebisuan. Tak ada yang berani memulai untuk mengakhiri semua ini. Kaki ku mati rasa, sekujur tubuhku seperti beku, kaku, bahkan mungkin sudah sedingin es. Aku tak ingin bergerak, membuka suara saja enggan, apalagi untuk beranjak dari tempat laknat ini. Sementara suara isakan mulai samar-samar terdengar seakan terbisik tepat di telingaku. Aku masih memandangnya.

“Sudah 2 jam kalian berdua hanya diam tanpa reaksi. Mau menunggu berapa jam lagi?”