Tuesday, September 25, 2012

Mimpi Buruk

Kamu tak akan pernah bisa ku gapai, ku raih, lalu ku miliki seutuhnya. Rasanya mencemaskan dirimu itu bukanlah sesuatu hal yang asing bagiku. Merindukanmu itu bagaikan udara yang setiap saat berhembus. Terkadang udara memang tak pernah bisa kita rasakan. Namun tak jarang juga udara menjelma menjadi angin. Awalnya lembut, menggelikan, namun angin bisa menjadi ganas dan berbahaya yang sanggup menghancurkan serta merusak sekitarnya. Ya, menggambarkan dan mengimajinasikan sesuatu yang berhubungan tentangmu itu memang serumit itu.

Perkenalan sederhana, hanya ada tatapan bola mata kita yang saling bertemu, kemudian seakan-akan menyatu dan saling terjadi gaya tarik menarik. Aku merasa waktu sejenak berhenti dan dunia menjadi hitam putih. Hanya siluetmu yang nampak berseri, berwarna indah yang menyolok penglihatanku. Kamu, mengagumkan sekali.

Aku dan kamu lagi-lagi berada di tempat yang sama dan lagi-lagi karena faktor keberuntungan. Aku pernah dengar suatu ungkapan, bukankah kalau kita sering berada pada keadaan dimana keberuntungan itu mempertemukan dua sisi yang berbeda, maka keberuntungan lah yang bertugas untuk menyatukan mereka? Kalau aku dan kamu adalah tokohnya, bukankah saat ini kita sedang dalam proses dipersatukan? Bukankah begitu?

Antara Lo dan Dia


Gue belum bisa paham teori apa yang mereka terapkan agar bisa dengan mudah mencintai gue dan butuh waktu bertahun-tahun untuk ngelupain gue. Meski pada akhirnya sampai sekarang pun 80 % diantara mereka belum juga bisa berpaling dari gue. Apa gue terlalu indah di mata mereka? Apa gue terlalu berharga dalam hidup mereka? Apa gue yang terlihat paling berwarna dintara semua cowok sekolah ini? Apakah dalam pandangan mereka semua cowok itu cuma hitam putih, abu-abu, sedangkan gue seorang yang paling bisa bercahaya dan memantulkan sinar gue ke seantero sudut sekolah? Apa begitu? Apa tidak terkesan ‘berlebihan’?

Terlalu banyak pertanyaaan-pertanyaan konyol dari gue yang mungkin tak akan pernah bisa mereka utarakan dengan jawaban yang paling tepat. Seharusnya pertanyaan itu tak akan pernah berlalu-lalang dalam pikiran gue kalau saja lo tidak berbuat senekat dan segila itu. Lo, salah satu diantara para ladies di luar sana yang benar-benar tak punya malu. Waktu lo nembak gue di tengah lapangan dengan speaker sekolahan yang suaranya aduhai menggelegar, tau apa yang gue pikirin saat itu? Dia. Ya, gue mikirin dia. Gue sama sekali bukan mikirin perasaan lo, tapi dia. Satu-satunya sosok yang paling indah di mata gue. Gue sangat-sangat menjaga perasaan dia, gue masa bodoh dengan cewek-cewek semacam lo yang ngarep banget bisa gue perlakuin seperti halnya gue merlakuin dia. No!

Saturday, September 22, 2012

Sebuah Cerita Lama


Tentang kami. Yang selalu bermandikan tawa dan berselimut canda setiap hari. Yang selalu mencomot makanan satu sama lain dengan gurau yang tak lagi terhindarkan. Yang selalu menatap langit yang sama di setiap senja. Yang selalu bangga dengan guyonan-guyonan gila serta topik obrolan ringan dan tak berbobot. Yang selalu menyamakan langkah kaki dan berhenti sejenak ketika salah satu dari kaki kami tertinggal di belakang; saling menunggu.

Tentang kami. Sekelompok pelajar yang setiap pagi tak pernah absen hadir ke sekolah. Sekumpulan kawan dekat yang bertekat tak akan pernah menjadi lawan. Sekawanan murid berseragam putih abu-abu dengan tas ransel di pundak masing-masing.

Tentang kami. Aku, kamu, dia, dan dia.

Aku masih mengingatnya dengan betul ketika kau melajukan motormu dengan kecepatan diatas 80 km/jam dan memaksaku menikmati hembusan angin yang begitu kencang. Ketika ku mulai terjebak dengan ketakutan diri sendiri dan kamu meraih telapak tanganku, menggenggamnya dan meletakkan melingkari perutmu. Kemudian saat ku lirik dari spion motormu, sesungging senyuman terlintas di wajahmu. Entahlah.

Tuesday, September 11, 2012

Bella


Resto Holy, 11 Oktober 2009.

Diantara kami bertiga, hanya Anna yang mampu mencairkan suasana kembali. Aku masih menatap Bella dengan pandangan kabur, buram. Mataku memanas, tidak sepantasnya aku masih berada disini bersama mereka. Tidak sepantasnya aku masih bisa menyantap kentang favoritku dengan lahap sementara aku yakin betul jauh di balik mata Bella yang selalu berbinar ternyata menyimpan luka. Satu jam yang lalu, resto ini padat pengunjung, kami masih tertawa, kami masih bersenda gurau dan berbagi candaan satu sama lain. Tertawa bersama, melahap sajian bersama, mengacau bersama. Hingga pada akhirnya perasaan yang selama ini terus mengusikku dan datang di setiap tidurku, mimpi buruk itu memaksa otakku untuk berkerja lebih ekstra.

Hanya tersisa kami bertiga di resto ini. Sementara mbak-mbak dan mas-mas yang ada di ujung kasir terus menengok ke arah kami karena keheningan itu. Semuanya nampak berbalik 180 derajat setelah aku mengatakan hal itu. Anna dan Bella masih tertawa, namun aku telah melakukan suatu kesalahan besar yang membuat Bella harus tersenyum palsu dibalik tawanya. Kini, hanya ada gurauan Anna yang mencoba mengembalikan suasana. Aku tau benar Bella menahan air matanya. Sementara aku, sudah kubiarkan air mataku jatuh.

Aku sadar sepenuhnya bahwa perasaan Bella dari dulu tak pernah berganti. Meski ia telah mengatakan seribu kali kalau hatinya telah move on, matanya tak pernah mampu membohongiku. Bella masih menyayangi dia. Apapun yang menyangkut tentang dia, raut muka Bella selalu berubah. Ada tangis yang tertahan disana. Aku tau betul.

Dia naksir kamu ya? Atau kamu yang naksir dia? Atau dua-duanya?”

Sunday, September 9, 2012

Arestya (end)

want to know the previous story?

“Res, jadi ini ayah bundamu? Syukurlah mereka selamat Res,”

Aku mengemban senyum kebahagiaan yang benar-benar tidak bisa ku tahan lagi. Aku sesegera menjabat telapak tangan kedua orang di hadapanku ini, lalu beralih menatap Ares, masih juga dengan senyumnya yang sulit dijelaskan.
*

“Din, jangan pernah sia-siakan kedua orang tuamu ya,”

Kata-kata itu seakan bagai belati tajam yang langsung merobek dada kiriku dan menusuk tepat di jantung. Menyia-nyiakan orang tuaku? Bukankah aku telah melakukan hal itu?

Aku tersenyum kecut menanggapi. Sementara mata Ares menerawang jauh tepat ke seberang lautan sana, aku mengikuti arah pandangannya. Air biru itu sepertinya dingin sekali, atau bahkan sedingin es. Pantulan sinar mentari membuat air biru itu nampak berkilauan, seperti mata Ares. Dua orang paruh baya yang sedari tadi hanya diam saja kini mulai buka suara.

“Ceritakan semuanya nak,” terang ayah Ares sambil menepuk pundak anaknya itu.

Ares beranjak dari tempatnya, berjalan dengan sedikit gontai menuju bangku panjang di ujung sana. Ares mempersilahkanku untuk duduk, aku hanya menurutinya saja. Sedangkan ia tetap dalam posisi berdiri sambil kembali memandang lautan.

“Orang tuaku telah meninggal Din,”

Tentang Kamu dan Mereka


Mataku terarah tepat padamu. Suara maskulinmu yang lantang dan tegas mampu menggetarkan syaraf-syaraf otakku yang sedang layu. Telapak tangan kita mungkin sama-sama dingin. Aku mengerti betul saat pertama kali kedua permukaan kulit tangan kita saling bersentuhan, saling menjabat. Saat itu yang ku rasakan panas, dingin, basah, lembab, bercampur menjadi satu. Rasa yang sempat menyelimutiku saat itu kini ia datang kembali. Kau duduk disana, matamu sudah memerah, suaramu hampir tak bisa ku dengar lagi, tubuhmu gemetaran hebat. Saat-saat seperti itu juga pernah kulihat, kurasakan, bersamamu. Saat itu, pertama kali ku melihatmu meneteskan mutiara bening dimata indahmu. Saat itu, pertama kali kulihat kamu hancur. Saat itu, dimana kamu pun tak peduli lagi figur seorang gentleman sejati seperti apa. Kamu benar-benar menangis saat itu.

You did it again! Kamu melakukannya lagi. Dihadapanku, dihadapan mereka, dihadapan semua orang. Tau tidak? Kalau aku tidak bisa mengontrol diriku, maka aku sudah menjadi orang pertama yang akan menghampirimu dan memelukmu dengan lenganku sendiri. Namun aku masih waras. Hal segila, nekat, dan sebodoh itu tak sampai kulakukan. Lagi pula, kau menangisi siapa lagi sih? Dia? Mantanmu itu? Bukankah kalian sudah lama sekali tidak saling sapa dan tidak ada kabar baik?

“Mereka segalanya buat saya,”

Aku tercekam. Setelah akhirnya kamu mengeluarkan suaramu kembali. Mereka? Siapa? Gengmu itu?

“Sampai kapan pun saya tidak akan pernah membubarkan mereka. Saya bisa seperti ini karena mereka,”

Tiba-tiba seperti ada bongkahan batu besar yang langsung menghantam dadaku.

Tuesday, September 4, 2012

Arestya (2)

want to know the previous story?

12 Desember 2009, Kapal Layar "El Vadeo" tenggelam di Perairan Selat Sunda, pukul 04.00 dini hari. Belum ada informasi lebih lanjut mengenai korban selamat.
*

“Ayah bundaku pasti selamat Din,”

Kata-kata itu bagaikan bunyi meriam perang yang terus saja mengguncang pikiranku. Sudah empat hari ini aku tidak melihat batang hidung Ares muncul di hadapanku. Setelah mengucapkan kata-kata itu beberapa hari yang lalu, ponselnya seperti tewas. Nomornya seperti lenyap dan sama sekali tak bisa dihubungi. Rumahnya yang megah seperti istana itu sepi sunyi. Sama sekali tak ada tanda-tanda Ares sedang melakukan aktifitas hidup disana.

Beberapa jam yang lalu, aku mendengar kembali suara Ares. Masih dengan mengucapkan kata-kata yang sama, kemudian terdengar bunyi “klik” dan akhirnya telepon itu terputus. Aku kembali kehilangan jejaknya.

Kabar mengenai korban selamat dari tragedi naas itu sendiri masih simpang siur. Aku turut prihatin, nelangsa sekali. Hingga akhirnya, satu pesan singkat masuk ke ponselku dengan nomor yang tidak dikenal.

Besok mau temani aku menjemput ayah bundaku? Aku yakin mereka pasti selamat Din, kutunggu jam 10 pagi di pelabuhan –Ares

Untuk Kamu


Full of mystery boxes that I’ve never opened before.

Penuh kejutan.

Hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak tertebak di otakku, tiba-tiba mereka menyerangku dengan sendirinya dan memaksakan diri untuk memenuhi space-space yang masih kosong di otakku.

Absurd.

Semuanya nampak jadi jauh lebih jelas dan lebih clear, karena aku sudah tau bagian-bagian dari puzzle yang sedang ku gabungkan satu persatu itu. Hingga akhirnya puzzle itu sudah tersusun, sudah lengkap, semua bagian sudah saling terpaut rapi dan pas pada tempatnya masing-masing. Hingga aku sendiri tau apa yang sebenarnya sudah benar-benar terjadi. Aku tau cerita sebenarnya.

Waktu pertama, saat kamu dan dia. Ya, dia yang pertama. Dia yang telah berhasil membuatmu menjatuhkan mutiara bening di mata indahmu. Dia yang pertama merebut hatimu. Bukan aku, tapi dia. Ya, hanya dia yang membuat tubuhmu gemetaran hebat saat dia memutuskan hubungannya denganmu. Tau tidak? Aku selalu membuntutimu. Membuntuti kisahmu dengannya. Bersiap-siap saat mungkin saja kamu akan lari memelukku setelah dia telah pergi dari hidupmu.

Namun, kamu bukan lari ke pelukanku.