Bab Tiga
IFY POV
Gue lagi bersama anak-anak OSIS
kelas 10. Sama Sivia juga pastinya. Dan, sama Rio juga tentunya. Kami sedang
bikin mading untuk lomba. Ya, lomba ini memang event tahunan di kota kami. Dan
sekolah kami pun setiap tahunnya tak pernah absen untuk mengikuti lomba ini.
Yang paling bikin gue semangat 45 buat ngerjain mading ini adalah, karena ada
Rio juga disana. Entah ya, orang yang kita kagumi itu selalu berpotensi
menambah semangat kita kalau lagi ada di dekatnya. Entah teori dari mana itu,
tapi gue acungi jempol memang benar.
“Fy, tuh si Rio,”
Sivia menyenggol lenganku pelan, dan
membuatku sedikit kesal karena kertas yang sedang ku gunting terpaksa
melenceng.
“Gue tau,”
“Lo ngomong gih ke dia,”
“Ngomong apaan?”
Gue menghentikan aksi gunting kertas
yang sudah dari tadi gue lakukan. Karena percuma saja, gue nggak jago
gunting-menggunting. Yang ada juga malah hasilnya amburadul melenceng nggak
karuan. Gue menatap Sivia, mengisyaratkan sebuah tanya yang langsung muncul
dari pikiranku.
“Ya ajak ngobrol kek, biar makin
akrab,”
Sivia menjawab dengan enteng. Kini
ia sudah berkonsentrasi pada kerjaannya. Kami terus mengobrol sambil
bekerja–mengerjakan sesuatu maksudnya. Bahkan kami pun hanya sesekali saling
berpandangan, kemudian kembali fokus pada sesuatu yang sedang kami kerjakan
tadi.
“Harus gitu ya?”
Gue bingung. Memang kalau bisa cepat
akrab tuh kudu sering-sering ngobrol ya? Dan kudu gue gitu yang ngajak ngobrol
duluan? Garing banget deh. Kalau gue sih ya biar aja, kalau ada momen ngobrol
ntar juga pasti bisa ngobrol sendiri, tanpa harus cari topik obrolan dulu.
Tanpa harus direncanakan, dan tanpa ada kesadaran sebelumnya. Kalau ngobrol sih
ya ngobrol aja, spontan, dan itu biasanya bisa bertahan lama. Karena obrolan
itu sendiri pun nggak sadar sudah sejauh mana yang diobrolkan. Tanpa topik
sebelumnya, mengalir begitu saja.
“Ya lo tanya ke dia kek, udah punya
cewek apa belom, atau udah ada gebetan kek, atau selingkuhan mungkin, atau
cewek yang deket sama Rio, ya apa aja lah Fy,”
“Harus gue yang tanya? Nggak ah,”
Gue berdiri meninggalkan Sivia yang
masih di tempatnya. Sohib gue yang satu ini ada-ada saja deh. Gue cuma sebatas
mengagumi Rio. Paling seminggu-dua minggu juga sudah hilang feelnya. Jadi
ngapain mesti repot-repot ngebet banget sih?
“Kalo lo nggak mau nanya, ya udah
kita kasih kejutan buat Rio!”
Gue terkejut tiba-tiba Sivia sudah
ada di belakang gue. Duduk manis sambil sandaran di dinding. Gue melirik ke
arahnya, wajahnya sih serius. Tapi kok gue nggak percaya kalau Sivia bisa
serius? Tuh cewek kerjaannya ketawa mulu, mana bisa serius sih?
Sivia beneran serius! Waktu gue
menoleh ke belakang, dia sudah nggak dalam keadaan duduk manis seperti tadi.
Dia berdiri, berjalan ke arah Rio. Sial, apa lagi sih ide gila bocah satu ini?
*
RIO POV
Gue berdiri di ambang pintu ruang
kelas gue. Bel tanda jam pelajaran berakhir sudah berbunyi sejak bermenit-menit
yang lalu. Tapi yang lagi gue tunggu nggak juga nongol. Gue menoleh ke arah
kelas X-1. Sepertinya sudah sepi. Apa Ify lupa kalau dia punya hutang yang belum
terbayarkan ke gue? Apa dia lupa mampir ke kelas gue dan akhirnya pulang
duluan? Apa dia lupa sama janjinya yang kemarin?
“Eh Fy!”
Gue melihat Ify baru saja keluar
dari kelasnya. Ia sepertinya menjadi penghuni kelasnya yang terakhir. Suara
anak paskib seperti gue sangat cukup lantang untuk bisa terdengar sampai ke
telinga Ify. Gue liat Ify sedang mencari-cari sumber suara yang baru saja
meneriakkan namanya tersebut.
“Fy!”
Gue panggil sekali lagi dan akhirnya
dia menemukan gue juga. Buru-buru dia menghampiri gue dengan setengah berlari.
“Gue mau nagih janji lo yang
kemarin, jangan bilang lo lupa deh Fy,”
“Eh Yo, iya sorry, gue nggak lupa
kok, tapi jangan sekarang ya?”
Jangan sekarang? Lalu kapan? Ini
sudah hari ketiga sejak Ify berjanji akan memberitahuku sesuatu. Tapi sampai
hari ini dia masih saja ngeles dan belum juga membayar hutangnya. Janji itu kan
bagaimanapun juga adalah hutang, dan hutang itu wajib dibayar.
“Kenapa?”
“Gue, hmm… gue, laper! Iya, gue
laper banget Yo dari tadi pagi belom sarapan. Gue pulang ya, laper banget ini
perut!”
Gue melihat Ify yang dengan setengah
panik memegangi perutnya. Bahkan ia hampir membungkuk karena terus-terusan
meremas seragam di bagian perutnya. Cewek ini benar-benar lagi kalap banget ya?
Ify kemudian berbalik badan dan buru-buru bergegas dari hadapan gue. Tapi
terlambat, gue sudah lebih dulu menahan lengannya untuk tidak melangkah pergi
dari sini.
“Lo laper kan? Gue juga, ya udah
kita cari makan dulu sekalian lo bayar hutang cerita lo ke gue,”
Ify kaget karena perlakuan gue yang
secara tiba-tiba dan terkesan memaksa ini. Gue menarik paksa tangannya kemudian
membawanya menuju parkiran. Sementara Ify masih dengan wajah bingungnya
disertai tatapannya yang sangat sulit diartikan. Gue hanya melanjutkan aksi
sampai akhirnya gue sadar telapak tangan yang sedari tadi gue genggam ini
dinginnya bukan main. Cewek ini lagi sakit?
Gue baru melepaskan genggaman
setelah kami benar-benar sampai di parkiran. Tepatnya di depan motor gue.
Memastikan bahwa Ify nggak bisa lagi kabur dari gue. Cewek disamping gue ini
wajahnya memutih, pucat pasi. Gue teringat kalau cewek ini sedang kelaparan.
Dan sepertinya memang benar dugaan gue, Ify sakit.
“Kenapa lo ngajak gue ke parkiran?”
“Mau ngambil motor gue, trus kita
cari makan dulu,”
Gue buru-buru memakai helm,
menstarter motor dan kembali menoleh ke samping. Benar dugaan gue, Ify masih
berdiri mematung disitu. Ia sudah tidak lagi memegangi perutnya, namun kini
lebih parah. Wajahnya benar-benar pucat. Kalau Ify masih saja berdiri tanpa
tindakan disini, mau nggak mau, terpaksa gue harus memaksanya lagi.
“Naik!”
Ify masih tak bereaksi. Cewek ini
menatap gue dengan heran. Heran atas sederet tindakan yang baru saja gue
lakukan. Tindakan yang tidak biasa, dan gue yakin bahkan Ify sama sekali nggak
menyangka kalau gue bisa jadi orang agresif seperti ini.
“Katanya laper? Buruan naik!”
Gue mengulangi lagi. Gue tau Ify
masih ragu. Cewek ini antara iya dan enggak untuk segera naik ke boncengan gue.
Memang apa yang sedang ada di pikirannya sampai-sampai dia takut banget mau
naik ke motor gue? Memang tampang gue seperti penjahat? Atau penculik
anak-anak? Atau bahkan seorang psycho?
Ify masih menatap gue. Lama. Lalu
gue lihat ia menelan ludah. Mungkin berkali-kali, karena lehernya nampak menunjukkan
suatu pergerakkan. Dan hanya itu sebuah gerakan kecil yang sedari tadi gue
lihat. Ify mulai membuka mulutnya, ini gerakan kedua yang gue liat. Selebihnya,
ia tidak bertindak apa-apa lagi. Gue masih menunggunya, menunggu kalimat yang
keluar dari mulutnya.
“Elo, nggak psycho kan Yo?”
Ify bergidik sedikit ngeri. Jadi apa
benar tampang gue seperti orang yang sedang psycho?
Gue menghela nafas.
*
“Jadi yang naksir sama gue itu temen
sekelas lo?”
Akhirnya gue berhasil membawa–paksa–Ify
ke tempat ini, tempat makan pastinya. Kami berdua sedang menikmati sajian
masing-masing. Ify sudah nggak bisa kabur lagi dari gue, bagaimanapun juga,
cepat atau lambat, dia pasti akan cerita hal ini. Janjinya sejak 3 hari yang
lalu itu, tepatnya waktu itu, waktu kami lagi kumpul-kumpul sama anak OSIS
kelas 10 buat bikin mading.
“Siapa sih Fy?”
“Rahasia dong, makanya gue nanya, lo
udah ada pacar atau gebetan belum? Atau mungkin cewek yang lagi lo taksir, atau
mungkin selingkuhan lo, atau siapa aja deh Yo,”
Jadi hal ini yang mau Ify kasih tau
ke gue? Gila nih cewek, gue bela-belain nggak bisa tidur 2 hari 2 malem karena
kepikiran, penasaran banget waktu Sivia bilang dia punya kejutan buat gue. Jadi
kejutan yang dimaksud Ify dan Sivia waktu itu adalah hal ini? 2 cewek gila itu
sukses ngerjain gue, sial!
“Kalo tuh cewek naksir gue, ya usaha
dong, nggak dengan cara ngasih teka-teki ke gue kayak gini Fy,”
“Dia cewek kali Yo, punya perasaan,
punya gengsi. Masa’ dia duluan gitu yang harus deketin lo?”
Gue melihat Ify makan dengan
lahapnya. Ternyata kawan baik Sivia yang satu ini maniak banget sama makanan.
Dia nggak gengsi ataupun jaim di depan gue. Dia tetap makan tanpa basa-basi.
Bahkan sepertinya dia nggak sadar kalau dari tadi gue perhatiin, lucu juga kalau
lagi makan begitu.
“Nah masa’ gue duluan yang deketin
dia? Sedangkan gue sendiri nggak tau dia siapa,” responku.
“Sok jual mahal banget, lo udah
punya cewek belum sih Yo?”
Gue berpikir sejenak. Gue punya
nggak ya?
“Belom, kenapa? Jangan bilang lo mau
daftar deh Fy,”
Entah udara disini memang betul
panas atau karena apa, tapi yang jelas, pipi Ify merah lho. Gue bisa lihat
dengan jelas, apalagi dia di depan gue pas.
“Daftar apa? Jadi pembokat? Nggak
mau gue,”
Ify menyeruput es tehnya sampai
habis. Dia memungut tisu di hadapannya, mengelapnya dengan cepat ke bibirnya.
Gue masih memperhatikan dia. Cara dia minum es, mengambil tisu, sampai mengelap
bibirnya yang basah karena air es. Cewek ini natural sekali, tanpa ada
pura-pura ataupun gengsi. Nggak seperti kebanyakan cewek yang suka pakai topeng
di hadapan cowok seperti gue.
“Iya iya, gue tau, lo maunya jadi
pacar gue kan Fy?”
“Ngomong lo sama es teh!”
*
Gue cukup tau hari ini. Kejutan dari
Sivia buat gue, dan janji cerita Ify waktu itu. Mereka memang sekongkol, niat
banget kalau mau ngerjain gue!
Oh, ternyata gue punya pengagum
rahasia. Ify ataupun Sivia, sama-sama nggak mau kasih tau gue siapa sebenarnya
cewek yang naksir gue itu. Terus gue harus gitu ya cari tau sendiri? Yang
jelas, tuh cewek dari X-1. Hmm…
Tuh cewek teman sekelas Ify dan Sivia.
Tuh cewek, kenal dekat sama Ify dan Sivia.
Tapi siapa? Bodo amat kalau tuh
cewek nggak juga ‘menampakkan’ dirinya di depan gue, ya nggak akan gue respon.
Nggak segitu repotnya juga kali kalau gue kudu respek sama cewek. Sekarang
salah siapa, tuh cewek sendiri yang merahasiakan identitas dirinya dari gue?
Nah, bukan salah gue dong.
Gue mengantar Ify sampai depan
rumahnya. Ternyata gue baru tau kalau Ify nggak bisa naik motor. Pantas saja,
gue selalu lihat Ify kemana-mana dibonceng Sivia. Kalau bukan dibonceng Sivia,
ya temannya Ify yang cowok itu. Atau kalau bukan dia, siapa saja deh anak X-1
yang rumahnya searah dan kebetulan lewat rumah Ify.
“Yo, serius nih gue tanya, lo ada
gebetan?”
“Napa sih tanya-tanya itu mulu dari
tadi? Lo pengen gue gebet ya Fy?”
Ify turun dari boncengan motor gue.
Kini ia berdiri, melangkah tepat di depan jalan gue. Mukanya cemberut, kesal.
“Rio gue serius!”
“Iya iya, kalo gebetan sih ada, tapi
bukan anak sekolah kita Fy,”
“Trus anak mana?”
Ify bertanya persis seperti waktu
pertama kali gue mengenal dia. Waktu kunci motor gue hilang, dia juga bertanya
dengan nada mengancam. Awas saja kalau sampai gue nggak jawab pertanyaannya,
bisa-bisa dimangsa hidup-hidup gue! Dia masih saja kepo.
“Mau tau banget apa mau tau aja?”
“Mau tau banget!”
“Kepo deh Fy haha,”
“Sialan ya lo dari tadi niat banget
ngerjain gue, udah sana pulang deh! Gue mau makan lagi!”
Apa barusan Ify bilang? Dia mau
makan lagi? Padahal baru saja belum ada setengah jam yang lalu gue makan bareng
dia. Dan sekarang dia lapar lagi begitu? Great.
“Lo mau makan lagi? Kelaperan
gara-gara kepo dan nggak gue kasih tau jawabannya ya? Haha iya iya deh Fy ntar
gue kasih tau lewat SMS aja deh, sekarang gue mau pulang, mau makan juga!”
Gue tertawa ngakak. Tadi kan Ify
sama Sivia yang niat banget pengen ngerjain gue. Nah sekarang berarti nggak
salah dong kalau gue bales ngerjain mereka balik? Lagipula, ngerjain orang itu
memang asik kok.
“Pulang sana pulang! Eh Yo awas aja ya
kalo sampe temen gue nanti nggak elo respon!”
“Suka-suka gue dong ah, haha,”
Gue buru-buru menstarter motor dan
melacu gas dengan ekstra. Kabur dari Ify. Sebenarnya gue nggak perlu ngebut
juga sih kalau mau kabur dari dia, toh dia juga nggak akan bisa menyusul gue
yang lagi naik motor, sedangkan dia cuma lari, pakai kaki.
Gue menutup kaca helm gue, tersenyum
dibalik helm putih itu. Kejutan apalagi ini? Baru beberapa bulan di sekolah
ini, sudah ada yang mewarnai hari-hari gue.
*
SIVIA POV
Ide gila gue berhasil juga!
Setidaknya, sahabat seperti gue ini sangat berguna buat Ify. Rio memang belum
tau kalau Ify naksir dia, tapi setidaknya, dia tau kalau dia punya secret
admirer, pengagum rahasia!
Bisa kalian tebak siapa pengagum
rahasianya Rio? Yap! Ify sendiri. Memang sih, ide ini benar-benar gila dan
nggak tertata rapi sebelumnya. Tapi yang jelas, dengan cara seperti ini gue
bisa ngebantu Ify pdkt ke Rio–yah walaupun dia nggak minta dibantu juga sih.
Tapi semua berjalan sesuai rencana!
Rio sendiri sudah penasaran banget siapa sebenarnya pengagum rahasianya itu. Dia
jadi sering tanya-tanya ke Ify, dia juga sering ngobrolin lewat SMS sama Ify.
Secara nggak langsung, mereka berdua itu sudah saling pdkt–yah walaupun belum
bisa dibilang pdkt juga sih. Tapi kan, Rio jadi dekat sama Fy. Pokoknya, Ify
itu one step closer deh, satu langkah lebih dekat. Dekat ke Rio maksudnya,
hihi.
“Ide lo gila Vi, tapi, not bad juga.
Gue sama Rio bahkan udah akrab sekarang. Cuman, gue ngerasa bersalah karena
udah ngebohongin dia,”
Gue lagi nemenin Ify makan
sekarang–lagi-lagi makan! Walaupun gue nggak ikut makan, karena memang gue
bukan maniak makanan seperti Ify. Tapi ngelihat Ify makan itu saja sudah
hiburan tersendiri buat gue. Entah kenapa ya, nih bocah punya potensi tersendiri
membangkitkan semangat makan gue disaat gue lagi benar-benar nggak selera buat
makan. Kalau Ify yang maksa, gue selalu nurut. Entah ya selalu begitu.
“Bukan ngebohongin dia Fy, tapi
belum saatnya buat bilang ke dia. Lagipula, nggak sepenuhnya bohong kok. Rio
emang benar-benar punya pengagum rahasia kan?”
“Ya, dan itu gue sendiri. Tapi
sepertinya, sekarang gue udah nggak lagi mengagumi dia Vi,”
Ify menghentikan makannya,
meletakkan sendok dan garpunya kemudian menyandarkan dagunya pada ke-sepuluh
jari-jari tangannya yang saling bertaut.
“Lho, kenapa Fy?”
“Gue nggak yakin sih, tapi, gue
rasa, gue malah sayang dia,”
Ify menghela nafas. Berat.
*
No comments:
Post a Comment