Friday, July 18, 2014

Radioactive (3)

Bab Tiga

IFY POV
            Gue lagi bersama anak-anak OSIS kelas 10. Sama Sivia juga pastinya. Dan, sama Rio juga tentunya. Kami sedang bikin mading untuk lomba. Ya, lomba ini memang event tahunan di kota kami. Dan sekolah kami pun setiap tahunnya tak pernah absen untuk mengikuti lomba ini. Yang paling bikin gue semangat 45 buat ngerjain mading ini adalah, karena ada Rio juga disana. Entah ya, orang yang kita kagumi itu selalu berpotensi menambah semangat kita kalau lagi ada di dekatnya. Entah teori dari mana itu, tapi gue acungi jempol memang benar.
            “Fy, tuh si Rio,”
            Sivia menyenggol lenganku pelan, dan membuatku sedikit kesal karena kertas yang sedang ku gunting terpaksa melenceng.
            “Gue tau,”
            “Lo ngomong gih ke dia,”
            “Ngomong apaan?”
            Gue menghentikan aksi gunting kertas yang sudah dari tadi gue lakukan. Karena percuma saja, gue nggak jago gunting-menggunting. Yang ada juga malah hasilnya amburadul melenceng nggak karuan. Gue menatap Sivia, mengisyaratkan sebuah tanya yang langsung muncul dari pikiranku.
            “Ya ajak ngobrol kek, biar makin akrab,”
            Sivia menjawab dengan enteng. Kini ia sudah berkonsentrasi pada kerjaannya. Kami terus mengobrol sambil bekerja–mengerjakan sesuatu maksudnya. Bahkan kami pun hanya sesekali saling berpandangan, kemudian kembali fokus pada sesuatu yang sedang kami kerjakan tadi.
            “Harus gitu ya?”
            Gue bingung. Memang kalau bisa cepat akrab tuh kudu sering-sering ngobrol ya? Dan kudu gue gitu yang ngajak ngobrol duluan? Garing banget deh. Kalau gue sih ya biar aja, kalau ada momen ngobrol ntar juga pasti bisa ngobrol sendiri, tanpa harus cari topik obrolan dulu. Tanpa harus direncanakan, dan tanpa ada kesadaran sebelumnya. Kalau ngobrol sih ya ngobrol aja, spontan, dan itu biasanya bisa bertahan lama. Karena obrolan itu sendiri pun nggak sadar sudah sejauh mana yang diobrolkan. Tanpa topik sebelumnya, mengalir begitu saja.

            “Ya lo tanya ke dia kek, udah punya cewek apa belom, atau udah ada gebetan kek, atau selingkuhan mungkin, atau cewek yang deket sama Rio, ya apa aja lah Fy,”
            “Harus gue yang tanya? Nggak ah,”
            Gue berdiri meninggalkan Sivia yang masih di tempatnya. Sohib gue yang satu ini ada-ada saja deh. Gue cuma sebatas mengagumi Rio. Paling seminggu-dua minggu juga sudah hilang feelnya. Jadi ngapain mesti repot-repot ngebet banget sih?
            “Kalo lo nggak mau nanya, ya udah kita kasih kejutan buat Rio!”
            Gue terkejut tiba-tiba Sivia sudah ada di belakang gue. Duduk manis sambil sandaran di dinding. Gue melirik ke arahnya, wajahnya sih serius. Tapi kok gue nggak percaya kalau Sivia bisa serius? Tuh cewek kerjaannya ketawa mulu, mana bisa serius sih?
            Sivia beneran serius! Waktu gue menoleh ke belakang, dia sudah nggak dalam keadaan duduk manis seperti tadi. Dia berdiri, berjalan ke arah Rio. Sial, apa lagi sih ide gila bocah satu ini?
*
RIO POV
            Gue berdiri di ambang pintu ruang kelas gue. Bel tanda jam pelajaran berakhir sudah berbunyi sejak bermenit-menit yang lalu. Tapi yang lagi gue tunggu nggak juga nongol. Gue menoleh ke arah kelas X-1. Sepertinya sudah sepi. Apa Ify lupa kalau dia punya hutang yang belum terbayarkan ke gue? Apa dia lupa mampir ke kelas gue dan akhirnya pulang duluan? Apa dia lupa sama janjinya yang kemarin?
            “Eh Fy!”
            Gue melihat Ify baru saja keluar dari kelasnya. Ia sepertinya menjadi penghuni kelasnya yang terakhir. Suara anak paskib seperti gue sangat cukup lantang untuk bisa terdengar sampai ke telinga Ify. Gue liat Ify sedang mencari-cari sumber suara yang baru saja meneriakkan namanya tersebut.
            “Fy!”
            Gue panggil sekali lagi dan akhirnya dia menemukan gue juga. Buru-buru dia menghampiri gue dengan setengah berlari.
            “Gue mau nagih janji lo yang kemarin, jangan bilang lo lupa deh Fy,”
            “Eh Yo, iya sorry, gue nggak lupa kok, tapi jangan sekarang ya?”
            Jangan sekarang? Lalu kapan? Ini sudah hari ketiga sejak Ify berjanji akan memberitahuku sesuatu. Tapi sampai hari ini dia masih saja ngeles dan belum juga membayar hutangnya. Janji itu kan bagaimanapun juga adalah hutang, dan hutang itu wajib dibayar.
            “Kenapa?”
            “Gue, hmm… gue, laper! Iya, gue laper banget Yo dari tadi pagi belom sarapan. Gue pulang ya, laper banget ini perut!”
            Gue melihat Ify yang dengan setengah panik memegangi perutnya. Bahkan ia hampir membungkuk karena terus-terusan meremas seragam di bagian perutnya. Cewek ini benar-benar lagi kalap banget ya? Ify kemudian berbalik badan dan buru-buru bergegas dari hadapan gue. Tapi terlambat, gue sudah lebih dulu menahan lengannya untuk tidak melangkah pergi dari sini.
            “Lo laper kan? Gue juga, ya udah kita cari makan dulu sekalian lo bayar hutang cerita lo ke gue,”
            Ify kaget karena perlakuan gue yang secara tiba-tiba dan terkesan memaksa ini. Gue menarik paksa tangannya kemudian membawanya menuju parkiran. Sementara Ify masih dengan wajah bingungnya disertai tatapannya yang sangat sulit diartikan. Gue hanya melanjutkan aksi sampai akhirnya gue sadar telapak tangan yang sedari tadi gue genggam ini dinginnya bukan main. Cewek ini lagi sakit?
            Gue baru melepaskan genggaman setelah kami benar-benar sampai di parkiran. Tepatnya di depan motor gue. Memastikan bahwa Ify nggak bisa lagi kabur dari gue. Cewek disamping gue ini wajahnya memutih, pucat pasi. Gue teringat kalau cewek ini sedang kelaparan. Dan sepertinya memang benar dugaan gue, Ify sakit.
            “Kenapa lo ngajak gue ke parkiran?”
            “Mau ngambil motor gue, trus kita cari makan dulu,”
            Gue buru-buru memakai helm, menstarter motor dan kembali menoleh ke samping. Benar dugaan gue, Ify masih berdiri mematung disitu. Ia sudah tidak lagi memegangi perutnya, namun kini lebih parah. Wajahnya benar-benar pucat. Kalau Ify masih saja berdiri tanpa tindakan disini, mau nggak mau, terpaksa gue harus memaksanya lagi.
            “Naik!”
            Ify masih tak bereaksi. Cewek ini menatap gue dengan heran. Heran atas sederet tindakan yang baru saja gue lakukan. Tindakan yang tidak biasa, dan gue yakin bahkan Ify sama sekali nggak menyangka kalau gue bisa jadi orang agresif seperti ini.
            “Katanya laper? Buruan naik!”
            Gue mengulangi lagi. Gue tau Ify masih ragu. Cewek ini antara iya dan enggak untuk segera naik ke boncengan gue. Memang apa yang sedang ada di pikirannya sampai-sampai dia takut banget mau naik ke motor gue? Memang tampang gue seperti penjahat? Atau penculik anak-anak? Atau bahkan seorang psycho?
            Ify masih menatap gue. Lama. Lalu gue lihat ia menelan ludah. Mungkin berkali-kali, karena lehernya nampak menunjukkan suatu pergerakkan. Dan hanya itu sebuah gerakan kecil yang sedari tadi gue lihat. Ify mulai membuka mulutnya, ini gerakan kedua yang gue liat. Selebihnya, ia tidak bertindak apa-apa lagi. Gue masih menunggunya, menunggu kalimat yang keluar dari mulutnya.
            “Elo, nggak psycho kan Yo?”
            Ify bergidik sedikit ngeri. Jadi apa benar tampang gue seperti orang yang sedang psycho?
            Gue menghela nafas.
*
            “Jadi yang naksir sama gue itu temen sekelas lo?”
            Akhirnya gue berhasil membawa–paksa–Ify ke tempat ini, tempat makan pastinya. Kami berdua sedang menikmati sajian masing-masing. Ify sudah nggak bisa kabur lagi dari gue, bagaimanapun juga, cepat atau lambat, dia pasti akan cerita hal ini. Janjinya sejak 3 hari yang lalu itu, tepatnya waktu itu, waktu kami lagi kumpul-kumpul sama anak OSIS kelas 10 buat bikin mading.
            “Siapa sih Fy?”
            “Rahasia dong, makanya gue nanya, lo udah ada pacar atau gebetan belum? Atau mungkin cewek yang lagi lo taksir, atau mungkin selingkuhan lo, atau siapa aja deh Yo,”
            Jadi hal ini yang mau Ify kasih tau ke gue? Gila nih cewek, gue bela-belain nggak bisa tidur 2 hari 2 malem karena kepikiran, penasaran banget waktu Sivia bilang dia punya kejutan buat gue. Jadi kejutan yang dimaksud Ify dan Sivia waktu itu adalah hal ini? 2 cewek gila itu sukses ngerjain gue, sial!
            “Kalo tuh cewek naksir gue, ya usaha dong, nggak dengan cara ngasih teka-teki ke gue kayak gini Fy,”
            “Dia cewek kali Yo, punya perasaan, punya gengsi. Masa’ dia duluan gitu yang harus deketin lo?”
            Gue melihat Ify makan dengan lahapnya. Ternyata kawan baik Sivia yang satu ini maniak banget sama makanan. Dia nggak gengsi ataupun jaim di depan gue. Dia tetap makan tanpa basa-basi. Bahkan sepertinya dia nggak sadar kalau dari tadi gue perhatiin, lucu juga kalau lagi makan begitu.
            “Nah masa’ gue duluan yang deketin dia? Sedangkan gue sendiri nggak tau dia siapa,” responku.
            “Sok jual mahal banget, lo udah punya cewek belum sih Yo?”
            Gue berpikir sejenak. Gue punya nggak ya?
            “Belom, kenapa? Jangan bilang lo mau daftar deh Fy,”
            Entah udara disini memang betul panas atau karena apa, tapi yang jelas, pipi Ify merah lho. Gue bisa lihat dengan jelas, apalagi dia di depan gue pas.
            “Daftar apa? Jadi pembokat? Nggak mau gue,”
            Ify menyeruput es tehnya sampai habis. Dia memungut tisu di hadapannya, mengelapnya dengan cepat ke bibirnya. Gue masih memperhatikan dia. Cara dia minum es, mengambil tisu, sampai mengelap bibirnya yang basah karena air es. Cewek ini natural sekali, tanpa ada pura-pura ataupun gengsi. Nggak seperti kebanyakan cewek yang suka pakai topeng di hadapan cowok seperti gue.
            “Iya iya, gue tau, lo maunya jadi pacar gue kan Fy?”
            “Ngomong lo sama es teh!”
*
            Gue cukup tau hari ini. Kejutan dari Sivia buat gue, dan janji cerita Ify waktu itu. Mereka memang sekongkol, niat banget kalau mau ngerjain gue!
            Oh, ternyata gue punya pengagum rahasia. Ify ataupun Sivia, sama-sama nggak mau kasih tau gue siapa sebenarnya cewek yang naksir gue itu. Terus gue harus gitu ya cari tau sendiri? Yang jelas, tuh cewek dari X-1. Hmm…
            Tuh cewek teman sekelas Ify dan Sivia.
            Tuh cewek, kenal dekat sama Ify dan Sivia.
            Tapi siapa? Bodo amat kalau tuh cewek nggak juga ‘menampakkan’ dirinya di depan gue, ya nggak akan gue respon. Nggak segitu repotnya juga kali kalau gue kudu respek sama cewek. Sekarang salah siapa, tuh cewek sendiri yang merahasiakan identitas dirinya dari gue? Nah, bukan salah gue dong.
            Gue mengantar Ify sampai depan rumahnya. Ternyata gue baru tau kalau Ify nggak bisa naik motor. Pantas saja, gue selalu lihat Ify kemana-mana dibonceng Sivia. Kalau bukan dibonceng Sivia, ya temannya Ify yang cowok itu. Atau kalau bukan dia, siapa saja deh anak X-1 yang rumahnya searah dan kebetulan lewat rumah Ify.
            “Yo, serius nih gue tanya, lo ada gebetan?”
            “Napa sih tanya-tanya itu mulu dari tadi? Lo pengen gue gebet ya Fy?”
            Ify turun dari boncengan motor gue. Kini ia berdiri, melangkah tepat di depan jalan gue. Mukanya cemberut, kesal.
            “Rio gue serius!”
            “Iya iya, kalo gebetan sih ada, tapi bukan anak sekolah kita Fy,”
            “Trus anak mana?”
            Ify bertanya persis seperti waktu pertama kali gue mengenal dia. Waktu kunci motor gue hilang, dia juga bertanya dengan nada mengancam. Awas saja kalau sampai gue nggak jawab pertanyaannya, bisa-bisa dimangsa hidup-hidup gue! Dia masih saja kepo.
            “Mau tau banget apa mau tau aja?”
            “Mau tau banget!”
            “Kepo deh Fy haha,”
            “Sialan ya lo dari tadi niat banget ngerjain gue, udah sana pulang deh! Gue mau makan lagi!”
            Apa barusan Ify bilang? Dia mau makan lagi? Padahal baru saja belum ada setengah jam yang lalu gue makan bareng dia. Dan sekarang dia lapar lagi begitu? Great.
            “Lo mau makan lagi? Kelaperan gara-gara kepo dan nggak gue kasih tau jawabannya ya? Haha iya iya deh Fy ntar gue kasih tau lewat SMS aja deh, sekarang gue mau pulang, mau makan juga!”
            Gue tertawa ngakak. Tadi kan Ify sama Sivia yang niat banget pengen ngerjain gue. Nah sekarang berarti nggak salah dong kalau gue bales ngerjain mereka balik? Lagipula, ngerjain orang itu memang asik kok.
            “Pulang sana pulang! Eh Yo awas aja ya kalo sampe temen gue nanti nggak elo respon!”
            “Suka-suka gue dong ah, haha,”
            Gue buru-buru menstarter motor dan melacu gas dengan ekstra. Kabur dari Ify. Sebenarnya gue nggak perlu ngebut juga sih kalau mau kabur dari dia, toh dia juga nggak akan bisa menyusul gue yang lagi naik motor, sedangkan dia cuma lari, pakai kaki.
            Gue menutup kaca helm gue, tersenyum dibalik helm putih itu. Kejutan apalagi ini? Baru beberapa bulan di sekolah ini, sudah ada yang mewarnai hari-hari gue.
*
SIVIA POV
            Ide gila gue berhasil juga! Setidaknya, sahabat seperti gue ini sangat berguna buat Ify. Rio memang belum tau kalau Ify naksir dia, tapi setidaknya, dia tau kalau dia punya secret admirer, pengagum rahasia!
            Bisa kalian tebak siapa pengagum rahasianya Rio? Yap! Ify sendiri. Memang sih, ide ini benar-benar gila dan nggak tertata rapi sebelumnya. Tapi yang jelas, dengan cara seperti ini gue bisa ngebantu Ify pdkt ke Rio–yah walaupun dia nggak minta dibantu juga sih.
            Tapi semua berjalan sesuai rencana! Rio sendiri sudah penasaran banget siapa sebenarnya pengagum rahasianya itu. Dia jadi sering tanya-tanya ke Ify, dia juga sering ngobrolin lewat SMS sama Ify. Secara nggak langsung, mereka berdua itu sudah saling pdkt–yah walaupun belum bisa dibilang pdkt juga sih. Tapi kan, Rio jadi dekat sama Fy. Pokoknya, Ify itu one step closer deh, satu langkah lebih dekat. Dekat ke Rio maksudnya, hihi.
            “Ide lo gila Vi, tapi, not bad juga. Gue sama Rio bahkan udah akrab sekarang. Cuman, gue ngerasa bersalah karena udah ngebohongin dia,”
            Gue lagi nemenin Ify makan sekarang–lagi-lagi makan! Walaupun gue nggak ikut makan, karena memang gue bukan maniak makanan seperti Ify. Tapi ngelihat Ify makan itu saja sudah hiburan tersendiri buat gue. Entah kenapa ya, nih bocah punya potensi tersendiri membangkitkan semangat makan gue disaat gue lagi benar-benar nggak selera buat makan. Kalau Ify yang maksa, gue selalu nurut. Entah ya selalu begitu.
            “Bukan ngebohongin dia Fy, tapi belum saatnya buat bilang ke dia. Lagipula, nggak sepenuhnya bohong kok. Rio emang benar-benar punya pengagum rahasia kan?”
            “Ya, dan itu gue sendiri. Tapi sepertinya, sekarang gue udah nggak lagi mengagumi dia Vi,”
            Ify menghentikan makannya, meletakkan sendok dan garpunya kemudian menyandarkan dagunya pada ke-sepuluh jari-jari tangannya yang saling bertaut.
            “Lho, kenapa Fy?”
            “Gue nggak yakin sih, tapi, gue rasa, gue malah sayang dia,”
            Ify menghela nafas. Berat.
*

No comments:

Post a Comment