Bab Satu
RIO POV
Gue sengaja
nitipin beberapa lembar kertas buffalo warna oranye dengan spidol warna-warni
satu pack lengkap ke Sivia–teman dekat Ify di kelasnya. Gue lagi males banget
keluar kelas. Kebetulan Sivia berbaik hati mau bawain titipan gue buat Ify.
“Buat apa?”
tanya Sivia dari balik jendela kelas gue.
“Diklat
OSIS. Kasihin aja ke Ify,”
Pas pulang
sekolah, gue terpaksa dateng ke X-1–ruang kelas Ify. Karena sampai 15 menit
setelah bel pulang, Ify nggak juga nongol. Apa tuh cewek udah pulang ya? Apa
dia lupa kalau mau bikin ID Card buat Diklat OSIS bareng sama gue? Apa mungkin
Sivia yang lupa ngasihin titipan gue ke Ify? Tapi nggak mungkin lupa. Sivia
juga anak OSIS, dia pasti juga sama-sama sibuk kayak gue buat persiapan diklat.
Dan dia nggak mungkin lupa. Apa mungkin yang lebih parahnya, Ify yang lupa kalo
dia satu kelompok sama gue?
Di
kelasnya, Ify sama beberapa teman sekelasnya lagi asik ngerjain sesuatu. Pas
gue datang, Ify sempet ngelirik gue sebentar terus kembali asik lagi sama sesuatu
yang sedang dia kerjakan itu. Sial, gue udah terlanjur kesini dan malah jadi
kacang. Ini anak bener-bener lupa atau gimana sih?
“Lama
banget? Udah beres kok ID Card-nya,”
Gue
tercenung. Ify lagi ngomong sama gue? Berarti gue yang lupa dong kalo janjian
bikin ID Card itu di kelas Ify, bukan di kelas gue. Sial sial sial! Untung gue
belum terlanjur marah-marah ke Ify karena nggak nongol juga setelah gue
tungguin dari tadi di kelas. Ternyata Ify nggak lupa. Dan ternyata malah gue
yang lupa. Dan lagi–ternyata–sesuatu yang dari tadi bikin Ify sibuk sampai
ngacangin gue adalah ID Card itu. Dia lagi ngebikin 9 ID Card itu. Dibantu sama
temen-temennya itu tadi. Bego bego bego! Kesalahan gue yang pertama, udah
berprasangka buruk terhadap Ify. Yang kedua, gue lupa janjian bikin ID Card
bareng di kelas Ify. Ketiga, gue udah telat bantuin bikin ID Card. Keempat,
yang seharusnya ngebantuin Ify beresin persiapan buat diklat itu gue, ketua
kelompok. Bukannya malah temen-temennya Ify yang notabene bukan anak OSIS dan nggak
terlibat apa pun. Rasanya gue jadi ketua paling bego dari yang lainnya, sumpah.
“Maaf
banget gue lupa Fy, sumpah,”
“Nggak
perlu sumpah juga kali nyantai aja, nih udah beres semua ID Cardnya. Sekarang
apa lagi?”
Gue masih
tercenung punya anggota kayak Ify. Beruntung banget. Dia cukup rajin dan
telaten buat persiapan diklat ini. Bahkan kayaknya dia lebih sibuk dari gue
yang notabene-nya adalah sang ketua. Gue masih kaku ditempat. Ke-sembilan ID
Card berwarna oranye itu sudah benar-benar ready untuk di-laminating. Bahkan
tulisan nama, kelas, nama kelompok, dan judul ID Card sudah tertulis rapi
disana. Dengan spidol punya gue yang tadi gue titipin ke Sivia supaya di
kasihkan ke Ify.
Ify menatap
gue dengan heran. Heran kenapa gue dari tadi diem aja. Lagian gue juga bingung
mesti ngapain. Gue udah bagi tugas ke semua anggota. Dan memang semuanya udah
selesai. Rencana hari ini mau bikin ID Card bareng Ify juga udah
selesai–walaupun gue telat dan jadinya nggak ikut bikin. Sekarang mau ngapain?
“Udah
selesai semua kok, sekarang gue mau keluar buat laminating ID Card ini aja deh
Fy,”
“Kenapa
nggak laminating di kopsis aja?”
“Kopsis
udah tutup jam segini,”
Ify hanya
ber-O ria setelah mendengar jawaban dari gue. Gue buru-buru bongkar isi tas gue
karena ternyata kunci motor gue nggak ada di tas. Di saku baju dan celana
seragam gue juga nggak ada. Bahkan di saku jaket gue juga nggak ada. Lalu
dimana?
“Nyari apa
sih?”
Ify jadi
ikutan penasaran karena sikap gue barusan. Dia kepo juga ya, pengen tau banget
deh. Aha, gue kerjain asik kali ya.
“Mau tau
banget apa mau tau aja?”
“Mau tau
banget lah,”
Gue tertawa
kecil mendapati jawaban mantab dari Ify. Cewek itu masih terus menunggu
penjelasan gue. Mukanya serius sekali. Padahal gue hanya berniat bercanda.
Sumpah, cuma iseng ngerjain dia kok. Dasar gue yang kurang ajar kali ya, udah
berapa kali hari ini gue bikin kesalahan sama Ify? Dan sekarang gue masih niat
pengen ngerjain dia?
“Kepo deh
Fy,”
“Daripada
kebo?”
Gue ketawa
setengah ngakak. Bener-bener jahat nih gue. Bukannya ngerasa bersalah, malah
asik ngetawain. Pake ngakak segala lagi.
“Nah elo
kan kebo yang kepo hehe, gue lagi nyari kunci motor Fy,”
Sementara
gue masih penasaran dimana kunci motor gue, Ify juga ternyata nggak berhenti
dari ke-kepo-annya itu. Tuh cewek mau tau banget deh.
“Buat apa?”
“Buat naik
motor lah,”
Selain
kepo, Ify ini juga bego. Ups, terlalu kasar kali yah kalo gue bilang bego? Oke,
dia ‘polos’ atau saking polosnya sampai mesti nanya dulu kunci motor tuh
fungsinya buat apa. Ini gue yang salah jelasin atau emang Ify yang polos? Nggak
mungkin. Sepolos-polosnya anak TK sekali pun, tetep aja mereka semua tau kunci
motor ya buat naik motor lah.
“Elo yang
bego, gue juga tau kali. Maksud gue, buat apa lo nyari kunci motor? Mau
pulang?”
Lagi-lagi
gue bikin kesalahan sama Ify. Kenapa sih gue selalu berprasangka buruk sama
dia? Tuh kan akhirnya malah dia yang ngatain gue bego. Tapi ya, emang bener sih
gue bego. Ify nggak sepolos itu juga, jadi gue emang bego karena udah
beranggapan Ify polos banget dan saking polosnya sampai gue bilang dia bego.
Dan sekarang, senjata makan tuan. Bego itu malah berbalik arah ke gue, sial!
“Gue baru
dateng masa’ mau pulang. Gue mau laminating ID Cardnya Fy. Kopsis kan udah
tutup, jadi mesti keluar sekolahan nyari tempat fotokopi,”
Gue jelasin
dengan hati-hati. Memperhatikan setiap kata yang gue keluarin dan was-was kalau
aja gue salah ngomong lagi maka gue akan berprasangka buruk lagi. Bikin diri
gue sendiri jadi malu karena udah punya pikiran yang enggak-enggak tentang Ify.
Dan ternyata ‘enggak-enggak’ itu tadi nggak terjadi.
“Kenapa lo
nggak nyuruh gue aja? Tugas ketua kan ngatur anggota, dan gue anggota lo,”
Lagi-lagi
gue ngerasa jadi ketua kelompok paling bego sedunia. Yang sebenernya jadi ketua
kenapa nggak Ify aja sih? Dia jauh lebih punya pemikiran cemerlang ketimbang
gue yang cepet berprasangka buruk. Dan gue juga suka lupa, suka menebak-nebak,
dasar ketua nggak bener!
“Tugas
ketua emang ngatur anggota. Tapi ketua juga menjaga anggotanya. Masa’ gue tega
sih ngebiarin cewek yang keluar panas-panas gini dan sedangkan gue cowok malah
adem-ademan disini. Biar gue aja Fy,”
Gue nggak
tau dapet kekuatan darimana ngomong kalimat bermutu itu tadi. Gue nggak tau
dapet pencerahan dari siapa atas pemikiran gue yang cukup bijak dan cukup
gentle tadi. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa ngomong seperti itu. Rasanya,
baru sekali ini gue jadi ketua bener. Setidaknya, nggak selalu salah dan bego
di depan anggota gue kan? Dan setidaknya, nggak malu-maluin diri gue sendiri.
*
Diklat OSIS
selesai! Lega banget akhirnya kegiatan–yang–cukup–menyiksa–itu berakhir dengan
lancar dan tugas gue sebagai ketua kelompok akhirnya selesai juga. Banyak
tantangan buat jadi ketua kelompok. Yang jelas kudu bener-bener yang paling
siap diantara semua anggotanya. Bener-bener siap mental, siap pemikiran, siap
fisik, dan siap segala macemnya lah. Apalagi kakak-kakak senior itu tega sekali
ngadain diklat yang seperti ini. Bener-bener dengan persiapan yang matang buat
ngadain diklat ini. Menyiksa sekali, tapi gue sadar para senior ngelakuin itu
semua juga buat ngelatih kami–para anggota OSIS baru–supaya mentalnya nggak
lembek, supaya bisa memegang tanggung jawab dengan baik, dan supaya nggak
ngecewain tugas-tugas yang udah diamanatkan oleh para senior itu ke kami.
Meskipun
Diklat OSIS selesai, gue mesti ngikutin satu diklat lagi. Pradiko–Pra Diklat
Komando–itu dia diklatnya anak paskib. Yang perlu kalian ketahui, selain anak
OSIS, gue juga ikut ekskul paskib. Padahal dari SMP gue sama sekali nggak ada
jiwa-jiwa Merah Putih. Tapi nggak tau kenapa gue berminat sama salah satu
ekskul yang cukup punya ‘nama’ itu di sekolah ini.
Banyak
senior selalu bilang, diklat paskib jauh lebih disiplin dari OSIS.
Se-kejam-kejamnya OSIS, masih lebih kejam di paskib. Semilit–semi militer.
Bersiap-siaplah untuk minggu depan Rio!
*
IFY POV
Sivia
lagi-lagi bikin ulah! Teman yang satu ini memang susah dicari. Langka banget.
Aku beruntung bisa berteman dekat sama dia. Dia nggak pernah terlihat sedih di
depanku. Atau mungkin memang hidupnya nggak pernah sedih? Ya, dia selalu
tertawa. Seperti sudah terpahat jelas di dahinya kalau jadwal ketawanya itu 24
jam. Bahkan sekalipun ia sedang dalam masalah, aku pun tak tau. Berbeda
denganku yang sudah sangat sering bercerita apa-apa padanya. Sivia ini bahkan
sama sekali belum bercerita apa pun tentang masalahnya. Seperti dia tak punya
masalah saja. Hebat. Keren banget deh punya kawan baik seperti dia.
Kami
bertiga berteman dengan baik di kelas. Aku–Sivia–Gabriel. Kami bertiga sama-sama
baru saling mengenal ya saat SMA ini. Tepatnya saat pembagian kelas. Hari
pertama aku masuk di X-1, kelas sangat sepi. Sungguh, aku sama sekali belum
mengenal mereka. Bahkan belum tau nama mereka masing-masing. Aku mengenal Sivia
karena suatu tragedi memalukan yang terjadi padaku.
Saat itu,
aku lagi ‘bulannya’. Sebelumnya, memang jarang sekali terjadi, atau bahkan
mungkin tak pernah terjadi dan baru kali itu yang pertama. Dan semoga juga
untuk yang terakhir. Saat bel pulang sekolah, aku berdiri untuk memberi salam
pada guru mata pelajaran terakhir yang telah selesai menyampaikan materi
pelajaran. Baru saat berdiri, belum melangkah maju ke depan untuk mencium
tangan guruku, kedua teman perempuan di belakangku seketika itu juga memanggil
namaku, memaksaku untuk duduk kembali. Disinilah awal terjadi malapetaka itu.
Aku sadar
mereka berdua telah membuat kode-kode dengan bahasa isyarat agar membuatku
mengerti tanpa harus disadari oleh teman cowok di kelasku. Aku gugup. Aku
bahkan tidak membawa jaket. Lalu bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan
begini? Aku mengintip ke bagian belakang rokku. Tepat saja, seperti bendera
Jepang! Sungguh, ini mengerikan!
Aku terus
mematung di tempat dudukku. Dengan beberapa teman perempuanku yang juga ikut
bingung sekarang. Ternyata, aku tak sendirian. Ada 2 temanku lagi yang
nampaknya bernasib sama denganku. Dan salah satunya adalah Sivia. Walaupun dia
tidak separah sepertiku. Aku masih kaku. Kikuk untuk bergerak, apalagi berdiri.
“Rumah kamu
dimana Fy?”
“Di
kompleks depan Vi,”
Sivia juga
mulai risau karena nasibnya sama denganku. Tapi aku lebih risau lagi, sungguh.
“Kamu bawa
motor? Atau dijemput?”
“Aku nggak
bisa naik motor Vi, rumahku deket dari sini jadi jalan kaki,”
Aku
menjelaskan dengan risau yang masih saja menyelimutiku. Aku takut kalau-kalau
bendera Jepang ini semakin memperluas wilayahnya, atau sesuatu buruk lainnya
yang mungkin bisa saja terjadi.
“Pulang
sama aku ya? Aku naik motor sendirian, daripada kamu jalan kaki kan nggak
mungkin dengan keadaan seperti sekarang,”
“Yakin
nggak ngerepotin Vi?”
“Sama
sekali enggak. Lagian searah kok, aku juga lewat kompleks depan itu,”
Saat
itulah, aku mengenal Sivia. Mengenalnya dengan semakin baik. Dan berteman dekat
dengannya. Itu awal kedekatanku dengan Sivia. Sedangkan Gabriel? Cowok
berpostur tubuh tinggi menjulang serta berkulit yang cukup eksotis–hitam. Kalau
dengan cowok satu ini, aku sendiri lupa bagaimana bisa sampai seakrab ini.
Semuanya berjalan begitu saja, apa adanya. Dan karena aku sama Sivia lebih suka
bergaul bareng anak cowok di kelas, maka kami sudah mengenal baik mereka semua.
Ke-sepuluh cowok di kelas kami, terutama Gabriel.
*
Ini sudah
pukul tujuh malam. Sedangkan aku masih menikmati suasana sekolahku. Ya, aku
masih disini. Di koridor kelas 10. Bahkan hawa dingin yang menusuk kulitku
sangat terasa disini. Aku tidak masalah pulang malam, toh rumahku hanya di
kompleks depan. Tidak sampai 10 menit jalan kaki paling juga sudah sampai di
rumah.
Hari ini
Hari Jumat. Dan besok adalah Hari Sabtu. Ya, semua orang tau hal itu. Lalu apa
yang salah? Tidak ada yang salah, aku disini hanya ingin membantu anak paskib.
Besok adalah hari diklat anak paskib. Hari dimana mereka akan melewati uji
mental serta fisik yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Kasihan mereka.
Sebenarnya,
aku juga ikut ekskul paskib. Namun hanya pada pertemuan pertama saja, itu sudah
cukup membuatku tepar! Pada siang bolong dijemur di tengah lapangan sekolahku
dengan bermandikan keringat karena panas matahari yang begitu menyengat. Aku
merutuki diriku sendiri, menyesal mengapa mengikuti ekskul ini. Pertemuan
kedua, aku sengaja tidak datang. Aku tidak sendiri kok, banyak siswa lainnya
yang juga berniat mengundurkan diri dari ekskul itu. Bahkan sampai pada
latihan-latihan dan pertemuan-pertemuan selanjutnya, aku tidak pernah datang
lagi. Secara tidak resmi, aku sudah mengundurkan diri dari ekskul itu, haha.
Lagi-lagi
si Rio itu terpilih menjadi ketua kelompok. Dan seperti yang telah diketahui
oleh semua murid, diklatnya paskib adalah diklat yang paling membuat murid
kelas 10 menderita dibandingkan semua diklat ekskul yang ada. Aku sangat
beruntung tidak perlu mengikuti diklat ini, tak perlu bersusah payah dan
menderita seperti halnya murid kelas 10 lain yang memutuskan untuk benar-benar
mengikuti ekskul paskib.
Sudah lewat
Isya’, dan aku masih disini. Bersama puluhan anggota paskib yang lainnya. Serta
tak sedikit juga teman-teman kelas 10 yang notabene
bukan anggota ekskul paskib turut membantu mereka.
Ku lirik di
sebelahku, Rio sedang berdiskusi bersama anggota kelompoknya. Langit sudah
berubah warna menjadi gelap. Sudah pukul delapan malam. Namun mereka belum juga
usai. Dalam keadaan seperti ini, kebersamaan dan berkumpul bersama teman-teman
kelas 10 yang baru ini membuatku merasa seakan telah mengenal mereka sudah
lama. Aku dapat merasakan kebersamaan itu terasa diantara semua teman-teman
yang saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Padahal kami baru kenal
beberapa bulan.
“Gue balik
duluan ya,”
Aku
mendongak, mengangkat kepalaku, melihat siapa yang tengah mengajakku berbicara.
Cowok dengan postur tubuh tinggi tegap sedang berdiri di hadapanku. Membuatku
terpaksa mendangakkan kepalaku dan menatap cowok itu yang jauh lebih tinggi
dariku. Terlebih lagi karena posisi ku yang sedang duduk, sehingga membuat
cowok itu sedikit membungkuk. Cowok itu mengulurkan tangannya ke arahku. Biasa
lah, salamnya anak OSIS setiap akan berpisah. Aku sudah sangat biasa
melakukannya. Bahkan bukan dengan anak OSIS. Sesegera aku menyentuh tangan Rio
yang sudah terulur daritadi dan berniat untuk segera menjabat tanganku.
Hangat.
Tunggu,
panas.
Ya, panas.
Bukan hangat.
Aku
merasakannya. Saat menyentuh permukaan kulit sawo matang milik Rio. Telapak
tangannya terasa panas. Ini rasa panas secara harfiah. Ini rasa panas yang real. Nyata. Telapak tangan Rio panas.
“Tangan lo
panas? Lo sakit ya Yo?
Aku reflek
menyentuh kembali telapak tangan Rio dengan asal. Menyakinkan kembali bahwa
perkataanku barusan memang benar.
“Kecapean,
biasalah orang sibuk kayak gue,”
Rio
mengenakan jaket jinsnya yang berwarna biru itu. Mengatupkan dan menarik
resleating jaketnya dari ujung paling bawah hingga lehernya. Rio berjongkok,
kemudian mengenakan fantovel hitamnya itu. Sepatunya anak paskib.
“Lo gak
nunggu makanannya dulu? Kasian kan temen lo udah beli makan, tunggu dia balik
bentar trus lo makan bentar baru lo pulang.” terangku sedikit simpatik.
“Itu
namanya gak sebentar. Lagian anak-anak yang lain tuh masih banyak pada
kelaperan semua. Gue makan di rumah aja,”
Aku
tertegun mendengar perkataan Rio barusan. Ia sebenarnya gengsi, bohong, atau
memang nggak laper beneran? Tapi nggak mungkin. Semua yang ada disini juga pada
belum makan dari tadi pulang sekolah. Nggak mungkin banget kalau Rio nggak
lapar. Pasti dia gengsi.
“Kalo laper
sih ya laper aja Yo nggak usah gengsi. Gue tau, anak cowok kan maruk, apalagi
udah jam segini pasti pada kalap semua. Rugi lo nggak ikut makan bareng
anak-anak.”
Aku memberi
jawaban dengan seadanya dan memang berdasarkan fakta. Mungkin ini sedikit lebay,
tapi ya memang begitu. Aku saja yang seorang perempuan, dari tadi juga udah
kelaparan disini. Mau keluar buat beli makan, nggak enak sama teman-teman yang
lain, nggak solid dong. Mereka juga sama laparnya, mereka juga sama-sama masih
disini dari tadi, dan mereka juga sama-sama belum makan. Sama sepertiku,
seperti Rio juga.
“Gue makan
di rumah aja deh Fy,”
Lagi-lagi
Rio menolak. Dasar Rio gengsinya tinggi banget. Ia tetap ngotot mau pulang.
Mungkin dia capek. Tapi yang lain kan juga capek? Atau mungkin dia memang
benar-benar lagi sakit? Apalagi disini dingin banget.
“Ya udah lo
pulang aja deh nggak papa,”
“Ya emang
seharusnya nggak papa kan?”
Betul juga.
Memang seharusnya tidak apa-apa kan? Lagi pula juga tidak ada larangan buat
pulang dari sekolah.
“Emang
persiapan kelompok lo udah beres semua Yo?”
“Udah dong,
siapa dulu ketuanya,”
Rio
tersenyum narsis. Membanggakan dirinya sendiri.
“Nih,”
Aku
menyodorkan botol minumku yang berisi air mineral kepada Rio. Aku tau, cowok
itu memang lapar, dan kalau dia benar-benar kekeuh ingin pulang, paling tidak
perutnya harus tetap terisi walaupun hanya air mineral. Biar pun cuma air
mineral, yang penting kan sehat.
“Buat apa?”
“Tuh mulai
lagi deh bego-nya, diminum lah,”
Rio
menerimanya dengan sedikit ragu. Mengamati botol minum berwarna biru itu.
Memang sih, airnya sudah tidak penuh lagi. Karena tadi sempat ku minum beberapa
teguk. Tapi yang penting kan masih ada. Masih cukup kok kalau hanya untuk
mengisi kekosongan perut Rio.
“Nggak gue
racuni, sehat, asli deh itu air putih,”
Aku mencoba
meyakinkan Rio sekali lagi. Ia nampaknya masih ‘iya-enggak’ untuk meminum air
mineral itu. Merasa cukup yakin, Rio akhirnya memutar tutup botol minum itu ke
kanan, dan kemudian terbuka. Rio sudah bersiap meneguk air dalam botol itu,
namun aku buru-buru menyaut dan menahan botol itu.
“Gue lupa, jangan dicucup ya Yo, hehe,” terangku sambil nyengir dan
memberikan kembali botol minum itu kepada Rio. Dia hanya tersenyum kecil
menanggapi. Beberapa detik terlewat sampai pada akhirnya Rio berhasil meneguk
habis air mineral dalam botol itu. Aku sampai tertegun tak percaya, Rio mampu
menghabiskan seluruh air mineral itu hanya dalam sekali minum. Dasar anak
cowok!
“Haus banget ya Yo?”
Rio nyengir.
Aku hanya geleng-geleng kepala sambil
tertawa geli mendapati Rio karena cengar-cengir seperti anak kecil yang baru
saja mendapat mainan baru. Rio mengelap bibirnya yang basah dengan punggung
telapak tangannya. Kemudian dengan cepat ia memutar kembali tutup botol itu
sampai rapat dan mengembalikannya kepadaku.
“Thanks,” ucapnya masih disertai
cengiran khas kekanak-kanakannya.
“Aslinya tuh lo laper kan Yo? Saking
aja lo gengsi. Dikasih minum sebotol langsung habis dalam sekejap,”
“Laper sama haus beda kali Fy,”
Rio masih saja ngeles kalau dirinya
tidak lapar. Aku melengos sementara Rio meraih ransel hitamnya dan segera
memakai ransel itu di punggungnya. Ia kemudian memungut helmnya yang sedari
tadi tergeletak diam di ubin koridor. Rio kembali menyodorkan tangannya. Oh,
salaman lagi rupanya.
“Tadi udah salaman sih tapi gue
nggak pulang-pulang. Sekarang gue pulang beneran deh, salaman lagi,” terangnya.
Aku menjabat tangan Rio tanpa ragu
dan kembali merasakan kalau telapak tangan cowok di depanku ini panas.
Ya, kali ini memang benar panas.
Bahkan semakin panas.
“Tangan lo masih panas Yo? Sakit
beneran ya lo?”
“Iya kali, haha,”
Rio tertawa kecil sembari melangkah
ke arah teman-teman yang lain. Berpamitan terhadap mereka, dan menjabat tangan
mereka satu persatu, persis seperti apa yang dia lakukan tadi kepadaku.
Aku senang mengenalnya. Aku senang
melihat cengiran khasnya. Dan aku juga geli melihat gengsinya. Cara dia minum,
cara dia beralasan dan menanggapi ucapanku. Khas seorang Rio. Menyenangkan
berteman dengannya.
*
No comments:
Post a Comment