Bab Dua
GABRIEL POV
Sivia
pasti nggak bisa mengontrol matanya kalau udah liat boneka-boneka disini. Ya,
tuh cewek memang benar-benar maniak boneka. Dia punya bermacam-macam boneka di
rumah dan di kamarnya. Beda banget sama Ify. Dia malah ogah-ogahan waktu gue
ajak hunting boneka buat Sivia. Ify memang nggak seperti cewek-cewek kebanyakan
yang pecinta boneka, gila shopping, fashion, jalan-jalan ke mall, dan sejuta
hal konyol lainnya yang sudah menjadi tabiat para cewek-cewek itu. Ify terkesan
simple. Dan karena itu juga gue menikmati bisa punya sohib cewek seperti dia.
“Kalo lo yang cewek aja nggak
ngerti, gimana gue Fy?”
“Terakhir gue punya boneka pas masih
SD Yel, itu pun juga kado ultah. Sebenernya lo salah kalo ngajak gue hunting
kado buat Sivia di tempat ini,”
Gue melengos. Sudah hampir satu jam
kami di toko ini. Dan benar-benar stuck karena antara gue atau pun Ify, kami
sama sekali nggak mengerti tentang boneka yang bagus, cute, imut, cantik, awet,
rapi, lucu, keren, unyu, itu seperti apa. Mungkin lebih baik gue ajak Sivia
kesini dan membiarkan cewek itu memilih sendiri boneka mana yang dia sukai.
Walaupun seratus persen gue yakin kalau Sivia bakal nunjuk semua boneka yang
ada disini.
“Lo telpon Sivia gih, tanya ke dia
pengennya di kado boneka yang seperti apa,”
“Tadinya juga niatan gue begitu Fy,
cuma gue sengaja nggak ngomong ke elo, ntar lo kira gue bego,”
“Lo ngomong begitu tadi aja udah
ngebuktiin kalo lo bego Yel,”
“Gue bego juga karna elo kan,” gue
melengos.
Ify masih berjalan mondar-mandir
mengitari rak-rak boneka yang tertata rapi disana. Sesekali dia memungut
boneka, lalu meletakkannya kembali. Kemudian ia meraih boneka yang lain, lalu
kembali meletakkannya. Begitu terus hingga berkali-kali. Bahkan disaat gue
menoleh ke arah mbak-mbak yang juga lagi hunting boneka, mbak-mbak itu tadi
curi-curi pandang ke arah kami. Sambil sesekali ia menahan tawanya. Pasti tawa
mengejek kami. Ya, silahkan saja. Gue ataupun Ify, mungkin memang perlu diejek.
Kami benar-benar seperti orang bodoh disini.
“Capek Yel dari tadi cuma
ngambil-taroh, ngambil lagi, taroh lagi. Udah yang itu aja deh, sekarang kan
lagi ngetrend boneka Danboo,”
Ify menunjuk satu boneka dengan
bagian-bagian tubuhnya yang berbentuk kotak. Ya, gue hanya sekedar tau boneka
itu dari twitter. Boneka itu memang akhir-akhir ini ramai sekali dicari dan
dibicarakan. Gue memungut boneka yang terletak rapi di rak yang paling atas.
Gue tau Ify nggak akan sampai untuk memungut boneka itu. Maka karena gue punya
postur tubuh tinggi yang maksimum, gue bisa dengan mudah meraih boneka itu
tanpa kesulitan.
Gue bisa menghela nafas dengan lega
setelah keluar dari toko boneka itu yang bener-bener ngebikin gue atau pun Ify
sama-sama stuck. Mending juga ngopi berjam-jam sambil nongkrong atau pun futsal
berjam-jam sampai kaki gue patah-patah kalau perlu, daripada hanya berjalan
mondar-mandir putar-putar rak boneka yang tertata rapi dan menawan itu.
Akhirnya kami selesai juga, rencananya besok gue sama Ify mau bikin surprise
buat Sivia. Kami datang ke rumahnya dan boneka Danboo itu yang jadi kadonya.
Lalu tiba saat yang pasti ditunggu Ify–makan-makan.
Gue pun mengantar Ify sampai depan
rumahnya. Gue tau, meski dia sudah SMA tapi dia belum juga bisa naik motor
sampai sekarang. Ralat, kalau Ify bilang, dia bukan nggak bisa, tapi nggak
berani. Entahlah, yang jelas gue sama Sivia jarang banget ngeliat Ify naik
motor sendirian. Pernah sekali, itu juga hanya sekedar keliling blok rumahnya.
*
SIVIA POV
Kami bertiga sedang disini sekarang,
di tempat makan ini, di resto favorit Ify. Memang deh, kalau masalah makanan,
Ify yang paling jago. Gue shock sekaligus terharu waktu Ify sama Gabriel
tiba-tiba datang ke rumah gue tengah malem begitu. Gue kira ada yang mau maling
rumah gue, ternyata yang bolak-balik pencet bel rumah gue itu mereka. Bodohnya
gue adalah, memang ada orang kalau mau maling mesti pencet bel dulu?
Gue lebih nggak nyangka lagi
ternyata mereka berdua datang nggak cuma berdua. Tapi sambil bawa boneka kotak
yang lucu unyu dan lagi marak banget sekarang–Danboo! Gue langsung memeluk
boneka itu, gemas sekali, sesaat kemudian gue langsung ganti memeluk mereka. Eh
kebalik ya? Harusnya peluk sahabat dulu baru peluk hadiahnya. Ah, bodo amat.
Gue liat Ify lagi makan dengan
lahapnya. Memang deh, sohib gue yang satu itu benar-benar nggak nahan kalau
udah menyangkut makanan.
“Kalo masih laper mending habisin
punya gue sekalian deh Fy,”
Gue melirik ke arah Gabriel yang
sudah cengar-cengir sehabis melontarkan kata-kata itu. Ify hanya senyam-senyum
sendiri menanggapi. Gabriel memang paling nggak tega liat cewek kelaperan. Tapi
masa’ Ify kelaperan sih? Ah enggak deh, Gabriel itu yang lebay.
“Serius banget Fy? Nyantai aja kalo
kurang nambah tuh masih banyak,”
“Lo ngerecoki orang lagi makan deh Yel,
norak ah,”
Lagi-lagi gue tersenyum meliat
tingkah konyol Gabriel sama Ify. Mereka memang jarang akur. Apalagi kalau lagi
bareng-bareng begini, panjang deh kasusnya kalau mereka udah asik debat. Dan
gue cuma jadi penonton yang sesekali dukung Ify, tapi juga dukung Gabriel.
Gantian deh, biar adil toh mereka berdua sohib gue.
“Lebih asik lagi kalo makannya
ditemeni Rio ya Fy?” ucapku menggoda.
Ify berhenti mengunyah. Kini ia
menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kaget, bingung, heran,
marah, malu, dan apa lah sebagainya. Ify buru-buru menelan makanannya.
Sementara Gabriel langsung bertanya dengan antusias. Duh, salah ngomong gue!
“Ify naksir Rio? Cieeee,”
Gabriel mulai lagi. Hobi banget
godain Ify.
“Dih, Sivia tuh mengarang bebas!”
“Emang bener Vi, kalo Ify naksir
Rio?”
Gue bingung mesti jawab iya atau
enggak. Sebenernya juga gue nggak tau pasti jawabannya.
“Kenapa nggak tanya Ify langsung aja
deh Yel,”
Gue menjawab seadanya karena memang
mungkin hanya begitu lah yang bisa gue jawab. Gue nggak mau jadinya masuk ke topik
debat mereka nantinya.
“Fy, lo beneran naksir Rio?”
Kali ini Gabriel serius bertanya.
Ify hanya mengambil sesendok nasi, kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya,
mengunyah dengan santai. Tidak begitu merespon pertanyaan Gabriel rupanya.
“Lo dapet gosip dari mana sih Vi?”
Lagi-lagi gue cuma bisa nyengir. Iya
ya, gue dapet itu gosip dari mana?
“Dari elo sendiri Fy,” jawab gue
reflek.
“Semenjak Diklat OSIS selesai, lo
selalu cerita tentang Rio, lo ceritain gimana dia mimpin kelompok, gimana
bijaknya dia, gimana begonya dia karena selalu ngerasa jadi ketua kelompok
paling bego, dan, apalagi ya?”
“Eh tunggu, lo kok tau semuanya
tentang Rio sih Vi?”
“Gimana gue nggak tau, tiap hari Ify
cerita itu-itu mulu Yel,”
Gue meraih ponsel di atas meja, mengetuk-ngetuk
layar touch ponsel gue. Beberapa detik setelahnya, gue arahkan layar putih itu
ke hadapan Gabriel. Ia diam sejenak, bibirnya nampak bergerak-gerak, membaca
sesuatu dari layar ponselku. Sedetik setelahnya, tawa Gabriel meledak. Ia
ngakak sejadi-jadinya.
“Nggak usah ngeles lagi Fy, nih
buktinya kalo lo sering cerita tentang Rio ke Sivia, hahahaha,”
Gabriel menyaut ponselku,
menggoyang-goyangkan di depan kedua bola mata Ify. Gue sudah bisa menebak
betapa panas dinginnya hati Ify sekarang. Cuma dia memang lagi ngeles aja. Gue
tau, diam-diam begitu dia menyimpan rasa buat Rio. Yah, walaupun gue nggak
pernah dengar langsung dari mulutnya Ify sih, tapi, yang namanya sahabat tuh
tau apa yang dirasain sahabatnya tanpa perlu dikasih tau terlebih dahulu. Ify
memang sering banget cerita tentang Rio sewaktu diklat. Dari situ gue asal
nebak, kayaknya nih anak naksir sama Rio deh, simpatiknya segitu banget. Asal
nebak tapi kalau ternyata memang benar berarti nggak salah dong gue ngomong
begitu tadi.
“Oke, gue emang naksir Rio. Puas lo
berdua?!”
Akhirnya! Kata-kata itu terlepas
juga begitu saja. Kalimat itu reflek keluar dari mulut Ify secara langsung. Dan
berhasil terekam jelas oleh telinga gue dan Gabriel. Wah, kayaknya momen pas
Ify ngomong kata-kata itu tadi perlu diabadikan deh. Lumayan lah biar jadinya
ada bahan buat godain Ify.
“Asiiiik makan-makan ya ndut!”ceplos
Gabriel.
“Gue belom jadian Yel!”
Gue ngakak sejadi-jadinya. Ada-ada
saja si Gabriel. Ify kan cuma bilang kalau dia naksir Rio. Cuma ucapan. Belum
ada aksi. Belum ada pdkt–istilahnya. Memang ya Gabriel itu jago banget kalau mau
cari topik buat debat sama Ify.
“Dih, emang siapa yang bilang lo
jadian Fy? Gue kan cuma bilang makan-makan ndut! Pengen banget jadian ya Fy?”
“Lo kali yang pengen banget jadian!”
respon Ify.
Gue masih geleng-geleng kepala sejak
tadi. Kembali menjadi penonton debat. Kayaknya makin malem makin seru nih,
makin panjang bahasannya. Bahkan kayaknya cuma gue satu-satunya pendengar setia
aksi debat mereka. Gue juga nggak pernah sekali pun melewatkan tontonan yang
seru ini. Hiburan sob, kapan lagi?
“Iya! Kalo gue sih emang pengen
jadian ndut!”
“Ama sapa lo? Gebetan? Emang lo
punya?”
“Sama elo lah,”
Gue berhenti tertawa. Kaget juga
mendengar pernyataan Gabriel barusan. Bahkan Ify jauh lebih kaget dari gue. Apa
tadi Gabriel bilang?
“Ngomong lo sama makanan! Udah ah
cabut yuk, kenyang nih,”
Ify seketika berdiri sementara gue
masih mematung. Gue nggak salah denger kan Gabriel ngomong begitu tadi? Gue
melirik Gabriel, mukanya merah karena menahan tawa. Bahkan bahunya terus saja
bergoncang naik-turun menahan tawanya yang lama-lama makin tak terkendali.
“Nggak usah salting ndut, canda kok
haha,”
Gabriel ikutan berdiri dan melangkah
duluan. Dari balik punggungnya pun masih terlihat kalau dia masih tertawa
ngakak. Gue cuma bisa menatap Ify dan mengangkat bahu. Gue rasa, candaan
Gabriel barusan terasa ganjil. Gue rasa, Gabriel bilang begitu cuma modus. Gue
rasa, Gabriel nggak bener-bener menganggap itu semua bercanda. Gue rasa,
Gabriel punya secret. Seuatu, yang disimpan. Dan bisa saja itu rahasia. Bahkan
tanpa gue dan Ify tau. Tapi gue harus cari tau!
*
“Kemarin Rio SMS gue malem-malem Vi,
udah ngantuk banget, tapi entah ya dapet kekuatan dari mana, mata gue langsung
cling lagi waktu gue baca sender SMS itu si Rio,”
Pagi ini, Ify kembali bercerita
tentang si Rio. Gue sih nggak masalah dengerin cerita Ify. Habis dia kalau lagi
cerita lucu. Apalagi kalau sengaja nggak
gue respon, dia pasti ngulang-ngulang kalimatnya terus. Atau kalau enggak, dia
tanya, dia jawab sendiri. Terus tanya lagi, terus dijawab sendiri juga. Daripada nggak lo respon? Mending gue jawab
sendiri, begitu kata Ify. Dan akhirnya sukses bikin gue ketawa ngakak
pagi-pagi.
“Kemarin bahkan gue SMS-an sama dia sampe
hampir jam 12 malem Vi. Ternyata Rio sama kayak gue, sering banget tidur
malem,”
Ify masih melanjutkan ceritanya. Gue
jadi bawaannya pengen ketawaaaaa terus liat temen sendiri seneng jadi ikut
seneng juga. Antusias banget dia cerita segala hal tentang Rio. Mereka baru
dekat 2 minggu kok, tepatnya sejak Ify satu kelompok sama Rio dan akhirnya
mereka jadi dekat. Jadi sering bercanda dan SMS-an. Sepertinya memang benar
kata Gabriel,
“Jangan lupa makan-makan ndut!”
“Enak aja, makan-makan sih ya gue
aja ngapain ngajakin lo sama Gabriel, haha,”
Ify masih terus tertawa girang. Apa
begini ini ya jatuh cinta? Bawaannya antusias mulu, seneng mulu, ketawa mulu,
bahagia mulu. Tapi kok yang gue baca di novel-novel, jatuh cinta itu rasanya
nyiksa banget, sakit, menderita, bahkan sampai nangis-nangis. Nah yang bener
yang mana coba?
“Fy, dicari Rio tuh!”
Gue reflek menoleh ke sumber suara. Alvin–ketua
kelas X-1. Gue atau pun Ify, kami sama-sama saling berpandangan, larut dalam
pikiran masing-masing. Dan sepertinya apa yang Ify pikirin juga persis seperti
apa yang gue pikirin. Dengan secepat kilat, kami merubah posisi duduk ke arah
pintu kelas. Dan benar saja, seseorang dengan postur tubuh tinggi tegap sambil
membawa beberapa lembar kertas sedang berdiri di ambang pintu kelas. Seragam
putih abu-abunya bahkan masih rapi. Dengan dasi yang sesuai aturan serta sepatu
fantovel hitam–sepatu ciri khas anak paskib.
Ify kembali menoleh kepadaku, gue
tau apa yang sedang dalam pikirannya sekarang. Senang, sekaligus kaget, campur
girang, dan bingung mesti ngapain, semuanya campur aduk salam satu pikiran.
Sang pujaan hati yang sedari tadi jadi topik hangat untuk dibahas kini sedang
berdiri tegap di ambang pintu kelas. Gue menepuk pundak Ify, menyadarkannya
dari lamunannya. Meyakinkannya kalau gue juga sama-sama sedang melihat anak
paskib itu di depan pintu kelas. Membuat Ify percaya bahwa ini bukan mimpinya
belaka.
*
No comments:
Post a Comment