Thursday, September 14, 2017

Wednesday, September 17, 2014

Radioactive (4)

Bab Empat

RIO POV
            Gue rasa ada yang aneh dari Ify. Akhir-akhir ini dia sering ngasih gue teka-teki, dan gue nggak pernah bisa jawab. Gue nggak pernah punya jawaban yang pas untuk mengeksekusi teka-tekinya. Entah dia dapat dari mana teka-teki semacam itu. Semenjak gue sering menghabiskan waktu belajar gue buat textingan sama Ify, gue jadi ngerasa dia berbeda dari awal sebelum gue kenal dia sampai cukup akrab seperti sekarang. Entah ya kenapa, gue ngerasa aja begitu.
            Gue kenal cukup akrab sama Ify, semenjak gue punya secret admirer. Pengagum rahasia. Keren kan? Dulu gue nggak begitu kenal dekat sama tuh cewek. Semuanya berawal dari Diklat OSIS. Dan dilanjutkan dengan hari-hari setelah kegiatan itu. Hari-hari bikin mading bareng anak-anak OSIS tepatnya. Seperti sekarang ini, seperti hari ini.
            Gue masih mendengar anak-anak berbincang-bincang diluar. Gue gerah sedari tadi jadi pusat perhatian anak-anak. Si Shilla itu, gombal mulu. Dan tepatnya, gombalin gue. Anak-anak bukannya malah belain gue eh ikutan ngerjain gue pula? Sial! Risih sumpah. Ini sebenarnya kerja bikin mading atau ajang penjodohan?

Friday, July 18, 2014

Radioactive (3)

Bab Tiga

IFY POV
            Gue lagi bersama anak-anak OSIS kelas 10. Sama Sivia juga pastinya. Dan, sama Rio juga tentunya. Kami sedang bikin mading untuk lomba. Ya, lomba ini memang event tahunan di kota kami. Dan sekolah kami pun setiap tahunnya tak pernah absen untuk mengikuti lomba ini. Yang paling bikin gue semangat 45 buat ngerjain mading ini adalah, karena ada Rio juga disana. Entah ya, orang yang kita kagumi itu selalu berpotensi menambah semangat kita kalau lagi ada di dekatnya. Entah teori dari mana itu, tapi gue acungi jempol memang benar.
            “Fy, tuh si Rio,”
            Sivia menyenggol lenganku pelan, dan membuatku sedikit kesal karena kertas yang sedang ku gunting terpaksa melenceng.
            “Gue tau,”
            “Lo ngomong gih ke dia,”
            “Ngomong apaan?”
            Gue menghentikan aksi gunting kertas yang sudah dari tadi gue lakukan. Karena percuma saja, gue nggak jago gunting-menggunting. Yang ada juga malah hasilnya amburadul melenceng nggak karuan. Gue menatap Sivia, mengisyaratkan sebuah tanya yang langsung muncul dari pikiranku.
            “Ya ajak ngobrol kek, biar makin akrab,”
            Sivia menjawab dengan enteng. Kini ia sudah berkonsentrasi pada kerjaannya. Kami terus mengobrol sambil bekerja–mengerjakan sesuatu maksudnya. Bahkan kami pun hanya sesekali saling berpandangan, kemudian kembali fokus pada sesuatu yang sedang kami kerjakan tadi.
            “Harus gitu ya?”
            Gue bingung. Memang kalau bisa cepat akrab tuh kudu sering-sering ngobrol ya? Dan kudu gue gitu yang ngajak ngobrol duluan? Garing banget deh. Kalau gue sih ya biar aja, kalau ada momen ngobrol ntar juga pasti bisa ngobrol sendiri, tanpa harus cari topik obrolan dulu. Tanpa harus direncanakan, dan tanpa ada kesadaran sebelumnya. Kalau ngobrol sih ya ngobrol aja, spontan, dan itu biasanya bisa bertahan lama. Karena obrolan itu sendiri pun nggak sadar sudah sejauh mana yang diobrolkan. Tanpa topik sebelumnya, mengalir begitu saja.

Radioactive (2)

Bab Dua

GABRIEL POV
            Sivia pasti nggak bisa mengontrol matanya kalau udah liat boneka-boneka disini. Ya, tuh cewek memang benar-benar maniak boneka. Dia punya bermacam-macam boneka di rumah dan di kamarnya. Beda banget sama Ify. Dia malah ogah-ogahan waktu gue ajak hunting boneka buat Sivia. Ify memang nggak seperti cewek-cewek kebanyakan yang pecinta boneka, gila shopping, fashion, jalan-jalan ke mall, dan sejuta hal konyol lainnya yang sudah menjadi tabiat para cewek-cewek itu. Ify terkesan simple. Dan karena itu juga gue menikmati bisa punya sohib cewek seperti dia.
            “Kalo lo yang cewek aja nggak ngerti, gimana gue Fy?”
            “Terakhir gue punya boneka pas masih SD Yel, itu pun juga kado ultah. Sebenernya lo salah kalo ngajak gue hunting kado buat Sivia di tempat ini,”
            Gue melengos. Sudah hampir satu jam kami di toko ini. Dan benar-benar stuck karena antara gue atau pun Ify, kami sama sekali nggak mengerti tentang boneka yang bagus, cute, imut, cantik, awet, rapi, lucu, keren, unyu, itu seperti apa. Mungkin lebih baik gue ajak Sivia kesini dan membiarkan cewek itu memilih sendiri boneka mana yang dia sukai. Walaupun seratus persen gue yakin kalau Sivia bakal nunjuk semua boneka yang ada disini.
            “Lo telpon Sivia gih, tanya ke dia pengennya di kado boneka yang seperti apa,”
            “Tadinya juga niatan gue begitu Fy, cuma gue sengaja nggak ngomong ke elo, ntar lo kira gue bego,”
            “Lo ngomong begitu tadi aja udah ngebuktiin kalo lo bego Yel,”
            “Gue bego juga karna elo kan,” gue melengos.
            Ify masih berjalan mondar-mandir mengitari rak-rak boneka yang tertata rapi disana. Sesekali dia memungut boneka, lalu meletakkannya kembali. Kemudian ia meraih boneka yang lain, lalu kembali meletakkannya. Begitu terus hingga berkali-kali. Bahkan disaat gue menoleh ke arah mbak-mbak yang juga lagi hunting boneka, mbak-mbak itu tadi curi-curi pandang ke arah kami. Sambil sesekali ia menahan tawanya. Pasti tawa mengejek kami. Ya, silahkan saja. Gue ataupun Ify, mungkin memang perlu diejek. Kami benar-benar seperti orang bodoh disini.